Selama bertahun-tahun, saya sudah mencoba segala cara untuk mendapatkan persetujuan dari keluarga Tom. Tidak peduli seberapa keras saya berusaha menunjukkan bahwa saya adalah pasangan yang baik untuk putra dan saudara mereka, tak pernah ada yang cukup. Sejak awal, ibu Tom, Karen, sudah jelas menunjukkan bahwa saya bukan tipe wanita yang dia bayangkan untuknya. Dia sering memberi tahu saya, dengan cara yang tidak terlalu halus, bahwa saya tidak “cukup baik” untuk putranya. Jack, saudara laki-laki Tom, tidak jauh berbeda—selalu memberikan komentar sinis tentang pekerjaan saya atau menyiratkan bahwa Tom bisa mendapatkan yang lebih baik.
Namun saya bukan tipe orang yang mudah menyerah. Saya membuat kue untuk setiap liburan, kue kering untuk pertemuan, dan mengadakan makan malam hanya untuk menunjukkan usaha. Saya menjadi pembuat kue keluarga, berharap akhirnya mereka akan melihat bahwa saya memiliki tempat dalam dunia mereka. Namun semakin keras saya berusaha, semakin jauh mereka menjauh. Rasanya tidak peduli apa yang saya lakukan, saya tidak akan pernah menjadi bagian dari lingkaran mereka.
Jadi, ketika Jack mengirim pesan kepada saya suatu pagi, meminta dibuatkan kue ulang tahun, saya sangat terkejut.
“Hai, bisa buatkan kue untuk pesta ulang tahunku?” tanyanya, dengan nada yang tidak biasa sopan.
Saya terhenti sejenak, menatap pesan di ponsel saya. Ini adalah pertama kalinya Jack meminta sesuatu dari saya tanpa sindiran. Mungkin ini kesempatan saya untuk akhirnya membuat kemajuan dengan dia. Mungkin ini adalah saatnya mereka akhirnya menerima saya.
“Tentu! Kue seperti apa yang kamu mau?” jawab saya, berusaha tetap semangat.
Jack membalas dengan cepat. “Buat kejutan saja! Buat yang luar biasa, seperti yang kamu selalu buat.”
Saya merasa bangga. Saya akan memberikan hati saya untuk kue ini. Saya membuat sebuah karya tiga tingkat yang menakjubkan dengan warna biru dan perak, menghiasnya dengan bunga buttercream yang halus yang pasti membuat setiap pembuat kue bangga. Itu bukan hanya kue—itu adalah pesan. Saya menunjukkan pada mereka betapa saya peduli, betapa saya ingin diterima.
Pada hari Sabtu, saya dengan hati-hati membawa kue itu ke ruang acara yang disewa Jack, merasa bersemangat namun sedikit gugup. Saya berpikir, mungkin ini akan menjadi titik balik. Mungkin hari ini akan mengubah hubungan saya dengan keluarga Tom.
Namun begitu saya melangkah ke dalam tempat acara, hati saya terasa jatuh. Saya berhenti sejenak, terkejut.
Ruangan itu tidak seperti yang saya bayangkan sama sekali. Tidak ada balon, tidak ada pita, tidak ada dekorasi meriah untuk merayakan ulang tahun Jack. Sebaliknya, spanduk besar tergantung di seluruh ruangan, masing-masing bertuliskan: “Selamat Tom dan Sarah!”
Saya berkedip, bingung. Apa yang sedang terjadi?
Lalu saya melihat mereka. Tom berdiri di samping Sarah, mantan pacarnya, terlihat… nyaman. Terlalu nyaman. Sarah tertawa, bersandar padanya, dan itu menghantam saya seperti kereta api. Saya benar-benar tidak tahu apa yang sedang saya hadapi.
“Jack?” saya memanggil, suaraku gemetar saat saya melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, membawa kue.
Jack berbalik, ekspresinya berubah saat melihat wajah saya. Keangkuhan biasanya hilang seketika. “Eh, hai… senang kamu datang,” katanya, suaranya kaku.
Saya melihat sekeliling, masih berusaha memahami apa yang terjadi. “Apa… apa yang sedang terjadi? Saya kira ini pesta ulang tahunmu.”
Jack terlihat canggung, matanya melirik ke arah Tom dan Sarah, yang kini menatap saya dengan ekspresi tak pasti.
“Ya, well, ada sedikit perubahan rencana,” kata Jack sambil menggaruk lehernya. “Ini nggak cuma untuk saya lagi. Kami, eh… memutuskan untuk menjadikannya perayaan untuk Tom dan Sarah. Kamu tahu, untuk ‘awal baru’ mereka.”
Saya terdiam. Rasanya jantung saya berhenti berdetak.
“Tunggu—apa maksudmu? Awal baru apa?” saya berusaha bertanya, suaraku bergetar karena bingung dan sakit hati.
Tom menarik napas dalam-dalam dan akhirnya berbicara. “Lihat, saya nggak tahu bagaimana harus memberitahumu, tapi… Sarah dan saya… kami sudah kembali bersama sejak beberapa waktu yang lalu. Dan… kami akan bersama lagi.”
Tangan saya mengepal di sekitar kotak kue, dan saya merasakan beratnya kebenaran itu menghantam saya. Kue yang saya buat dengan penuh kasih—simbol dari segala yang telah saya lakukan untuk mencoba masuk ke dunia mereka—rasanya seperti lelucon yang kejam.
“Saya minta maaf, Laura,” kata Tom pelan. “Saya nggak bermaksud untuk menyakitimu. Tapi ini… terjadi begitu saja.”
Saya mencoba berbicara, tapi kata-kata saya tersangkut di tenggorokan. Jack, yang terlihat agak bersalah, mendekati saya. “Saya juga minta maaf. Saya tahu nggak seharusnya meminta kue ini. Seharusnya saya memberitahumu lebih awal.”
Saya menatap kue itu, pandangan saya kabur dengan air mata yang tertahan. Biru dan perak, bunga buttercream yang halus, kini terlihat seperti ejekan.
“Tidak,” akhirnya saya berkata, suara saya lebih kuat dari yang saya rasakan. “Saya nggak menyesal membuat kue ini. Saya menyesal sudah menghabiskan begitu banyak waktu mencoba masuk ke dalam keluarga yang nggak pernah menginginkan saya. Kalian berdua—” saya menunjuk ke arah Tom dan Sarah—“sudah berbohong pada saya sepanjang waktu. Saya nggak butuh ini. Saya nggak butuh semuanya.”
Tom membuka mulutnya untuk merespons, tetapi saya menggelengkan kepala dan berjalan ke arah pintu, meninggalkan kue di meja terdekat. Saya bahkan tidak menoleh saat keluar.
Di luar, saya menarik napas dalam-dalam. Udara terasa lebih segar daripada yang pernah saya rasakan selama bertahun-tahun. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru untuk saya juga.
Dan saat saya mengendarai mobil menjauh, saya menyadari sesuatu: kue itu adalah cara saya untuk memaksa diri masuk ke dalam dunia mereka. Tapi saya nggak butuh persetujuan mereka. Saya sudah cukup dengan diri saya sendiri.