Saya Pikir Saya Tahu Segalanya Tentang Ibu Saya Hingga Saya Menemukan Gelang Kelahiran di Loteng. Bukan Milikku. Nama yang Tertera Mengungkapkan Rahasia yang Menghancurkan Realitasku dan Membuatku Mencari Kebenaran.
Setelah kematian ayahku, ikatan antara ibuku dan aku mulai rapuh. Dengan Alzheimer yang menghapus sebagian ingatannya setiap hari, rasanya seperti aku menavigasi labirin kenangan yang tidak sepenuhnya milikku. Keputusan untuk menempatkannya di fasilitas perawatan terasa seperti selimut timah yang menekan hatiku.
“Itulah yang terbaik,” bisikku pada diriku sendiri, meskipun kata-kata itu terasa hampa.
Aku tidak siap memberikan perawatan yang ia butuhkan, namun rasa bersalah tetap menggigit hatiku.
Mengemas barang-barangnya adalah bagian dari proses, meskipun rasanya lebih seperti membongkar hidupnya potongan demi potongan. Aku menaiki tangga sempit menuju loteng dan berlutut di dekat kotak terdekat, menyapu jaring laba-laba sebelum membuka kotak tersebut.
Aku mengharapkan yang biasa saja: album foto lama atau kertas-kertas yang menguning yang sudah lama tidak digunakan. Namun, tanganku membeku ketika aku menarik keluar sebuah gelang rumah sakit kecil yang menguning.
Teks di atasnya kabur saat aku membaca nama itu berulang kali:
“Baby Boy Williams, 12-15-83, Claire W.”
Jari-jariku gemetar saat aku meraih kembali ke dalam kotak. Ada selimut bayi yang halus dengan inisial “C.W.” dijahit di sudutnya. Di bawahnya ada foto hitam-putih ibuku yang sedang memegang seorang bayi. Ia tampak sangat muda, wajahnya bersinar dengan cinta.
Di bagian belakang foto tertulis: “My Collin, Winter 1983.”
Aku menatap foto itu.
Collin? Siapakah kamu? Kakakku? Dan di mana kamu sekarang?
Aku membawa gelang dan foto itu turun ke bawah, memegangnya begitu erat hingga buku-bukuku putih. Ibuku duduk di kursi favoritnya, tubuhnya yang rapuh hampir tertelan oleh bantal-bantal besar. Dia menatap keluar jendela, ekspresinya tenang. Bagi orang lain, dia mungkin terlihat tenang, bahkan damai. Tapi aku tahu lebih baik. Keheningan itu menyembunyikan kabut Alzheimer, penyakit yang telah mencuri begitu banyak dari pikirannya.
“Ibu,” kataku pelan, berjalan mendekat dan berlutut di sampingnya. “Aku perlu menanyakan sesuatu padamu.” Aku meletakkan gelang dan foto di pangkuannya, menyaksikan matanya beralih ke sana. Untuk sejenak, aku merasa melihat pengenalan di tatapannya, tetapi itu hilang secepat datangnya.
Jari-jarinya menyentuh foto itu, dan dia berkata dengan suara pelan. “Cahaya matahari… hangat… kue cokelat,” katanya, kata-katanya mengalir menjadi omong kosong. “Bunganya sangat indah hari itu.”
Dadaku terasa sesak. “Ibu, tolong,” desakku, berusaha menjaga suara agar tidak terdengar frustrasi. “Siapa Collin? Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang dia?”
Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia bercerita tentang kucing yang tidak pernah kami pelihara dan piknik yang mungkin terjadi atau tidak. Harapanku mulai runtuh.
Aku merosot ke lantai di sampingnya, kelelahan. Gelang dan foto itu masih ada di pangkuannya, tidak tersentuh. Aku menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diriku. Lalu, dia berbicara lagi, suaranya jelas dan lembut, seperti gema jauh dari ibu yang pernah kukenal.
“Itu adalah pagi musim dingin,” dia mulai, matanya tertuju pada sesuatu yang tak bisa kulihat. “Matahari bersinar melalui jendela. Aku menamainya Collin.”
Napasku terhenti. Aku diam, takut untuk memutuskan benang tipis yang muncul dalam ingatannya.
“Dia cantik,” bisiknya. “Tapi ayahnya membawanya pergi. Katanya itu untuk yang terbaik.”
Kata-katanya menghantamku seperti ombak. “Ayahnya?” bisikku. “Siapa dia? Kenapa dia membawa Collin?”
Sebelum aku bisa bertanya lebih banyak, kejernihan pikirannya hilang. Matanya mendung, dan dia mulai mengulang, “The Bread Basket… The Bread Basket…”
“Apa maksudnya, Ibu?” aku bertanya lembut, tapi dia hanya mengulanginya seperti mantra.
Aku tak bisa berhenti memikirkan Collin. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit tempat aku lahir, satu-satunya rumah sakit di kota ini. Ingatan ibuku tidak bisa diandalkan, tapi berada di tempat yang familiar bisa memicu sesuatu.
“Kita akan pergi ke rumah sakit tempat Collin lahir,” kataku padanya sambil membantunya masuk ke dalam mobil.
Dia memandangku, ekspresinya jauh. “Rumah sakit? Kenapa?”
“Kamu pernah menyebutkan Collin sebelumnya, ingat? Aku perlu tahu lebih banyak tentang dia.”
Tangannya sibuk bergerak di pangkuannya. “Collin… Aku tidak tahu apakah aku ingat.”
“Tak apa,” kataku, mencoba terdengar meyakinkan. “Mungkin berada di sana bisa membantu.”
Perjalanan itu sunyi, kecuali gumaman-gumaman sesekali darinya.
“Cahaya matahari… pagi musim dingin,” bisiknya, menatap keluar jendela. “Dia punya selimut yang paling lembut…”
Ketika kami tiba, rumah sakit itu terlihat persis seperti yang kuingat dari masa kecilku—kecil, dengan eksterior batu bata yang memudar dan semak-semak yang sedikit tumbuh liar di depan pintu masuk. Aku membantunya keluar dari mobil, dan matanya memindai bangunan itu seolah-olah mencoba mengenalinya.
Di dalam, aku menjelaskan kedatangan kami pada resepsionis, yang mengarahkan kami ke Dr. Miller, kepala dokter.
“Dr. Miller,” kataku, begitu kami duduk di kantornya, “Saya menemukan gelang dan foto ini. Ibu saya… Dia punya seorang anak laki-laki, Collin, dua tahun sebelum saya. Saya perlu tahu apa yang terjadi padanya.”
Dr. Miller memeriksa gelang dan foto itu, ekspresinya melembut.
“Saya ingat Claire,” katanya, menatap ibuku. “Dia sangat muda ketika melahirkan Collin.”
Ibuku bergerak gelisah di kursinya tetapi tidak mengatakan apa-apa.
“Apa yang terjadi padanya?” tanyaku, membungkuk sedikit.
Dr. Miller menghela napas. “Ayah Collin datang kembali setelah dia lahir, jauh lebih tua dari Claire. Dia bukan pacarnya waktu itu, tapi seseorang dari masa lalu Claire. Dia ingin membesarkan bayi itu sendiri.”
Kepala ibuku sedikit berputar, matanya menyempit seolah berusaha mengikuti percakapan itu.
“Claire sangat terpukul,” lanjut Dr. Miller. “Dia sangat mencintai Collin, tetapi ayah anak itu membawa Collin pergi saat dia baru beberapa bulan. Dia menulis surat kepada saya selama beberapa waktu, meminta saran tentang cara merawat Collin. Kemudian surat-surat itu berhenti. Tapi saya ingat dia menyebutkan bahwa dia berencana pindah ke kota lain.”
“Kota mana?” tanyaku cepat.
Dr. Miller menulisnya di selembar kertas dan memberikannya padaku. “Ini. Sekitar lima jam dari sini.”
“Terima kasih,” kataku, berdiri. “Ini sangat berarti bagi saya.”
Begitu kami keluar, aku tak bisa berhenti memikirkan perjalanan ke kota itu. Kakakku Collin ada, dan aku bertekad untuk menemukannya.
Perjalanan itu terasa seperti keabadian, bukan hanya karena perjalanan lima jam itu, tapi karena setiap menit memerlukan perhatian penuh. Ibuku yang hilang dalam dunia yang terpecah-pecah, membutuhkan pengingat konstan dan bimbingan lembut.
“Apakah sudah waktunya makan?” tanyanya, meskipun baru saja menyelesaikan sandwich beberapa menit yang lalu.
Aku dengan sabar memberinya camilan kecil, membukanya seperti memberikan hadiah.
Pada suatu titik, dia memberiku yogurt dengan ekspresi bingung. “Bagaimana cara membukanya?”
Aku tersenyum, mengupas tutup foilnya. “Begini, Ibu. Seperti yang dulu kamu tunjukkan padaku saat kecil.”
Saat aku memberikannya kembali, gelombang emosi menghantamku. Aku teringat tangannya yang lembut memanduku sebagai anak kecil, menunjukkan bagaimana memegang sendok, mengikat tali sepatu, bahkan melipat kertas menjadi pesawat terbang buatan. Saat itu, kesabarannya seolah tak ada habisnya.
Entah di mana, hubungan itu telah terlepas. Tetapi saat itu, rasanya seperti peran kami berbalik.
Akhirnya kami tiba di kota yang tenang dan sepi. Rasanya seperti melangkah ke gambar dari beberapa dekade lalu—toko-toko kecil, bangunan yang telah pudar, dan tidak ada orang di jalan-jalan.
“Di mana semua orang?” gumamku, lebih pada diriku sendiri daripada pada ibuku.
Seorang pria yang lewat mendengar dan menunjuk ke jalan. “Pesta kota. Semua orang ada di sana. Kamu harus cek di sana.”
Pesta kota itu tampaknya menjadi tempat terbaik untuk memulai. Jika Collin tinggal di kota ini, dia mungkin ada di antara kerumunan. Aku membantunya keluar dari mobil, pegangan tangannya erat di lenganku saat kami berjalan menuju kios-kios yang berwarna-warni.
Aroma gula karamel dan makanan goreng memenuhi udara, bercampur dengan gumaman tawa yang meriah.
Namun, ketika kami semakin dalam ke area pesta, ibuku mulai gelisah. Suaranya, yang biasanya begitu lembut, naik dengan urgensi.
“The Bread Basket… The Bread Basket…” dia mengulangnya hampir seperti memohon.
Aku berhenti, sedikit berlutut untuk menghadapinya. “Apa itu, Ibu?”
Sebelum dia bisa menjawab, seorang penjaja mendengar dan menyahut dengan senyuman.
“Oh, The Bread Basket? Itu toko roti di ujung jalan. Pilihan yang bagus!”
Jantungku berdegup kencang. Itu dia. Dengan semangat yang baru, aku memandu ibuku menuju toko kecil dengan tanda cat tangan yang bertuliskan “The Bread Basket.” Aroma roti yang baru dipanggang, kayu manis, dan mentega menyambut kami saat kami masuk.
Di konter, aku bertanya dengan hati-hati, “Apakah kamu kenal seseorang bernama Collin?”
Pekerja itu tersenyum mengetahui. “Collin? Dia pemiliknya. Biarkan saya panggilkan dia.”
Beberapa saat kemudian, seorang pria muncul, mengelap tangannya dengan apron. Dia lebih tinggi dari yang aku bayangkan, dengan tubuh yang tegap dan kepercayaan diri yang tenang. Namun, matanya. Dalam dan akrab—itu adalah mata ibuku.
Untuk sejenak, tidak ada yang berbicara. Collin memandangi aku dengan rasa ingin tahu, dan aku merasakan beratnya tahun-tahun dan rahasia yang terpendam di antara kami.
“Nama saya Mia, dan ini ibu saya, Claire. Saya menemukan gelang kelahiran dengan nama Anda di antara barang-barangnya.”
Collin menatapku, keningnya berkerut. “Nama saya? Dari dia?”
Aku mengangguk, merasakan kebingungannya. Ibuku bergerak di sampingku.
“David… The Bread Basket… Dia selalu bilang tidak ada yang lebih baik daripada sekeranjang roti,” gumamnya. “Dia berjanji akan menamai tokonya begitu suatu hari nanti.”
Collin membeku. “Tuhan. David adalah ayahku.”
Kami pindah ke meja sudut kecil, di mana aku menjelaskan semuanya—gelang kelahiran, potongan-potongan cerita yang dibagikan ibuku, dan jalan yang membawaku ke sini.
Collin mendengarkan dengan seksama, tatapannya bergantian antara aku dan ibu kami.
“Itu adalah impian ayah,” akhirnya kata Collin. “The Bread Basket… itu segalanya baginya. Dan sekarang, itu juga milikku.”
Potongan-potongan puzzle mulai tersusun di pikiranku. Toko roti itu adalah hubungan yang bertahan dari sunyi selama puluhan tahun.
Kami mengunjungi David keesokan harinya. Meskipun rapuh, matanya bersinar saat melihat ibuku, cahaya kehangatan dan kenangan yang dibagikan memenuhi ruangan. Dia menggenggam tangannya dengan lembut, ikatan mereka tak membutuhkan kata-kata.
“Aku pikir ini yang terbaik untuk semua orang,” katanya pelan, suaranya penuh penyesalan.
Seiring berjalannya waktu, aku melihat mereka kembali terhubung. Aku memutuskan untuk tinggal, pindah dekat dengan toko roti Collin untuk membantunya dan merawat ibuku.
Untuk pertama kalinya, keluarga kami terasa utuh. Cinta telah menemukan jalannya kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
Karya ini terinspirasi oleh kejadian dan orang-orang nyata, namun telah difiksionalisasikan untuk tujuan kreatif. Nama, karakter, dan detail telah diubah untuk melindungi privasi dan meningkatkan narasi. Setiap kesamaan dengan orang atau kejadian yang sebenarnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, adalah kebetulan belaka dan tidak dimaksudkan oleh penulis.
Penulis dan penerbit tidak membuat klaim tentang akurasi peristiwa atau penggambaran karakter dan tidak bertanggung jawab atas salah tafsir yang mungkin terjadi. Cerita ini disediakan “apa adanya,” dan setiap opini yang diungkapkan adalah milik karakter-karakter tersebut dan tidak mencerminkan pandangan penulis atau penerbit.