Setelah ibu saya meninggal, saya pikir saya tahu segalanya tentang hidupnya. Tapi sebuah penemuan tiba-tiba selama perjalanan saya mengungkapkan kebenaran yang tidak pernah saya duga. Apa yang saya temukan mengubah segalanya yang saya kira saya ketahui tentang masa lalu saya… dan masa depan saya.
Setelah kematian ibu saya, saya benar-benar sendirian. Saya berdiri di apartemen kosong, keheningan di sekeliling saya terasa menekan. Ayah saya meninggalkan kami sebelum saya lahir. Dinding-dinding, yang dulunya dipenuhi dengan kehadirannya, kini kosong, tak bernyawa.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Bu?” bisikku pelan.
Biasanya saya selalu punya jawaban. Tapi sekarang… sekarang hanya ada saya.
Saya menjual apartemen itu. Itu terlalu menyakitkan—pengingat hari-hari terakhir Ibu—dan saya tak sanggup tinggal di sana lebih lama.
Saya punya rencana samar untuk pergi ke kota kecil tempat dia pernah tinggal. Yang mengejutkan saya, dia memiliki properti di sana dan mewariskannya kepada saya.
“Saya akan ke sana, ke tempat yang Ibu cintai,” gumamku.
Saya berjalan menyusuri kamar-kamar kosong di apartemen itu untuk terakhir kalinya dan menutup pintu, menguncinya untuk terakhir kalinya.

“Selamat tinggal, Bu,” bisikku, merasakan air mata mengalir di pipiku.
Di luar, aku menyerahkan kunci kepada agen properti. Aku tidak punya tempat tujuan. Dua koper menungguku di hotel. Tidak ada lagi.
Aku melirik tumpukan surat di tanganku. Koran hari ini menarik perhatianku. Aku membolak-baliknya sampai sebuah iklan kecil mencolok:
“DIJUAL: RV 1985. Masih jalan, butuh perawatan. Harga murah.”
Itu adalah jalan untuk meninggalkan segalanya. Tanpa banyak berpikir, aku langsung mengemudi ke alamat yang tertera di iklan.
RV itu terparkir di jalan masuk rumah, tampak usang dan rusak, bahkan lebih parah dari yang aku bayangkan. Karat membekas di sisinya. Catnya memudar menjadi abu-abu kusam. Tapi itu tidak masalah. Itu adalah simbol kebebasan—untuk meninggalkan tempat dan luka ini.
Seorang pria berpenampilan kasar berdiri di sampingnya, tampaknya sangat ingin segera melepaskannya.
“Kau datang untuk RV ini?” tanyanya sambil melirikku saat aku mendekat.
“Iya,” jawabku, sambil meneliti kendaraan itu. “Aku lihat iklannya.”
“Itu tua, tapi masih jalan. Aku pakai minggu lalu. Tertarik?”
Aku menyentuh bagian cat yang terkelupas. Ini tidak sempurna—sama seperti diriku.
“Berapa harganya?”
“Hanya tunai,” katanya, menyebutkan harganya.
Aku tidak ragu. “Saya ambil.”
“Kamu yakin? Tidak mau lihat mesinnya dulu?”
“Tidak,” aku menggeleng. “Aku hanya perlu pergi.”
Beberapa menit kemudian, transaksi selesai. Aku naik ke dalam RV, aroma kulit tua dan debu memenuhi inderaku saat mesinnya menderu hidup.
“Baik, Bu,” bisikku sambil menggenggam kemudi, “Aku akan lakukan ini. Aku tidak tahu apa yang menungguku, tapi aku harus pergi.”
Aku memutuskan langsung menuju hotel tempat koperku menunggu. Aku tidak akan menginap seperti rencanaku sebelumnya. Tidak ada lagi penundaan.
Mengambil barang-barangku, aku memuatnya ke dalam RV, bersemangat untuk meninggalkan semuanya. Jalan terbuka memanggil, dan aku siap menjawab.
Aku menyetir selama berjam-jam. Dengung radio menemaniku saat matahari tenggelam di cakrawala. Kegelapan perlahan menyelimuti.
Aku lelah, mataku mulai berat. Jalan terus memanjang, seolah tak ada ujungnya, dan aku hanya ingin menemukan tempat untuk memejamkan mata sebentar.
Lalu, tanpa peringatan, RV tersendat. Mesin mengeluarkan suara batuk keras dan mengancam, dan sebelum aku bisa bereaksi, mesin itu mati total. Aku menghela napas panjang, menggenggam kemudi dengan kesal.
“Tentu saja ini terjadi sekarang,” bisikku pada diri sendiri, menatap hutan gelap gulita yang mengelilingiku.

Aku mencoba menyalakan mesin lagi, berharap keajaiban terjadi, tapi yang kudengar hanya klik lemah. Tidak ada apa-apa.
Bagus! Luar biasa! Tidak ada sinyal ponsel.
Aku keluar dari RV dan melihat sekeliling.
Sekarang apa?
Saat rasa panik mulai merayap, cahaya lampu depan menembus kegelapan. Sebuah truk pickup tua perlahan mendekat. Ia berhenti di sampingku. Seorang pria tua dengan wajah ramah duduk di belakang kemudi.
Pria itu menurunkan jendelanya. Seorang wanita muda duduk di sebelahnya.
“Kamu baik-baik saja?” teriaknya, sedikit mencondongkan tubuh agar bisa melihatku lebih jelas.
“RV-ku mogok,” jawabku. “Aku terjebak di sini.”
Pria itu mengangguk penuh empati.
“Wah, itu tidak bagus. Namaku Oliver,” katanya sambil tersenyum kecil. “Ini putriku, Grace.”
“Aku Emma,” aku memperkenalkan diri. “Terima kasih sudah berhenti. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.”
Oliver melirik ke arah RV lalu kembali menatapku.
“Begini saja, kami bisa menarikmu ke bengkel terdekat. Tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh mil dari sini.”
Aku menghela napas lega. “Itu luar biasa. Terima kasih banyak.”
“Bukan masalah sama sekali,” kata Oliver sambil tertawa kecil.
Dalam beberapa menit, dia sudah mengaitkan RV-ku ke truk mereka, dan kami mulai bergerak. Aku naik ke kursi belakang truk pickup, bersyukur bisa bergerak lagi.
Begitu kami melaju di jalan, percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka saling menggoda, setiap kata penuh kehangatan.
“Kamu ingat waktu kita tersesat di sini, kan?” tanya Oliver sambil tersenyum, melirik putrinya.
Grace memutar matanya. “Bagaimana bisa lupa? Ayah yakin kita nggak butuh peta. Kita tersesat berjam-jam.”
Oliver tertawa. “Kita nggak tersesat. Aku cuma ambil jalur yang lebih indah.”
Melihat mereka, aku merasa sedikit iri. Aku tak pernah punya hubungan seperti itu dengan ibuku. Dia mencintaiku, tapi pikirannya selalu di tempat lain.
Dan ayahku… aku bahkan tak mengenalnya. Hubungan seperti mereka terasa asing bagiku.
Saat kami sampai di bengkel, montir segera memeriksa RV-ku dan menggelengkan kepala.
“Butuh beberapa hari untuk memperbaikinya.”

“Beberapa hari?” ulangku dengan kecewa.
Rencanaku tiba-tiba tertunda. Oliver melihat ekspresi frustrasi di wajahku.
“Kalau kamu mau, kamu bisa ikut dengan kami sementara waktu,” tawarnya dengan ramah.
“Kami juga menuju ke arah yang sama. Kami bisa menemanimu sampai RV-mu selesai diperbaiki.”
Bukan hanya karena tumpangan. Itu adalah kehangatan yang mereka berikan—sesuatu yang baru kusadari sangat kubutuhkan. Tentu saja, aku setuju.
Malam itu, kami tiba di sebuah motel kecil pinggir jalan. Saat Oliver menyerahkan uang ke petugas, sesuatu terjatuh dari dompetnya.
Sebuah foto melayang ke lantai, menarik perhatianku. Aku memungutnya dan terdiam.
“Siapa ini?” tanyaku sambil memegang foto itu.
Oliver berbalik, ekspresinya berubah dari santai menjadi canggung. Sebelum ia bisa menjawab, Grace menyela.
“Oh, itu wanita yang nggak bisa dia lupakan,” katanya sinis. “Bahkan setelah Mama meninggal, dia masih bawa foto itu ke mana-mana, kayak jimat.”
Aku menatap Oliver, menunggu penjelasan, tapi dia hanya menghela napas, mengusap rambutnya.
“Dia adalah seseorang yang sangat aku cintai dulu. Kami tinggal bersama di kota yang sedang kita tuju. Tapi suatu hari… dia menghilang. Aku nggak pernah tahu apa yang terjadi padanya. Baru-baru ini aku tahu dia sudah meninggal. Aku kembali untuk mengenangnya.”
Jantungku berdegup kencang saat kata-katanya meresap. Wanita di foto itu adalah ibuku.
“Itu ibuku,” bisikku.
Mata Oliver membelalak. Grace cepat menghitung dalam pikirannya.
“Tunggu,” katanya pelan, “berarti… kamu bisa jadi anaknya?”
Kata-kata itu menggantung di udara. Oliver cepat-cepat menggeleng.
“Nggak, nggak, itu nggak mungkin. Kalau itu benar, berarti ibumu meninggalkanku saat sedang hamil. Dan aku nggak pernah tahu.”

“Kau meninggalkannya karena bilang akan pergi demi wanita lain,” kataku dengan suara bergetar. “Ibu menyimpan surat itu. Kau bilang selamat tinggal.”
“Surat apa?”
Aku mengeluarkan selembar kertas yang sudah usang—surat yang disimpan ibuku selama bertahun-tahun—dan memberikannya padanya. Grace membungkuk, membaca di atas bahu Oliver. Wajahnya pucat.
“Itu… itu tulisan tangan ibuku,” bisik Grace. “Kami juga tinggal di kota itu… Ayah? Apakah semua ini terjadi di waktu yang sama?”
“Ya. Aku berteman dengan ibumu waktu itu, Grace. Kami dekat, tapi tak lebih dari itu.”
Mata Grace menyipit, menyadari sesuatu. “Pasti dia melakukannya demi bisa bersamamu. Dia tahu apa yang dia lakukan.” Oliver menghela napas.
“Emma, ibumu menghilang, dan aku merasa kesepian. Dan… dan ibu Grace selalu ada. Dia membantuku melewatinya. Seiring waktu… kami mulai berkencan.”
Tiba-tiba semuanya masuk akal. Ibu Grace telah memisahkan mereka. Aku menatap Grace dengan amarah.
“Kau punya ayah sepanjang waktu ini! Aku tak punya siapa-siapa! Ibumu menghancurkan hubungan mereka, dan kau mendapatkan segalanya sementara aku ditinggalkan tanpa apa pun!”
Wajah Grace mengeras.
“Aku tidak tahu! Kau pikir ini salahku?”
Pertengkaran memanas, kami saling berteriak. Bertahun-tahun rasa sakit dan kehilangan akhirnya tumpah keluar.
“Aku tidak bisa terus begini,” kataku akhirnya sambil mundur.
Aku tak bisa bersama mereka lagi. Aku mengambil koperku dan mulai berjalan menyusuri jalan. Aku harus sampai ke kota itu untuk menyelesaikan semuanya.
Setelah malam tanpa tidur di mobil orang asing, aku bertemu dengan pengacara.
“Rumah yang ditinggalkan ibumu hanya separuh milikmu,” jelasnya. “Separuh lainnya milik Oliver.”
Setelah semua yang aku ketahui, rasanya seperti pukulan terakhir dari takdir. Aku siap melepaskan bagianku. Tapi pengacara menahanku.
“Mengapa kau tidak melihat rumah itu dulu?” sarannya.
Rasa penasaran mengalahkan segalanya, dan aku setuju. Rumah itu kecil tapi nyaman.
Kenangan seakan memenuhi ruangan. Alat jahit ibu tersusun rapi, mesin jahit tuanya masih ada. Tumpukan kain menanti untuk dijadikan karya.
Aku menemukan foto-foto berbingkai dirinya dan Oliver, muda dan bahagia. Mereka tersenyum padaku.
Ibuku, yang penuh semangat dan bangga, kabur karena surat palsu. Dia menyembunyikan kebenaran selama bertahun-tahun. Tapi Oliver… dia tak mencarinya. Dia melanjutkan hidup, menikahi wanita lain, dan memberi anak lain kehidupan yang tak pernah kumiliki.
Pikiran itu terasa berat saat aku mendengar mobil berhenti di luar. Oliver dan Grace masuk ke rumah dengan diam. Kami duduk dalam keheningan yang tebal.
“Kita harus menaburkan abunya,” bisikku akhirnya.
Bersama-sama, kami melakukannya. Saat aku melihat abu itu terbawa angin, sesuatu di dalam diriku berubah. Amarah yang selama ini kupikul mulai menghilang.
Grace memelukku perlahan. “Maafkan aku. Aku pikir sudah waktunya aku kembali ke keluargaku. Sekarang giliranmu untuk mengenal ayah kita.”
“Terima kasih, Grace,” bisikku akhirnya.
Dia tersenyum kecil. “Semoga kita bisa melewati ini.”
Setelah dia pergi, aku menatap kain dan mesin jahit. Sudah waktunya mengikuti mimpiku—menghidupkan desainku. Dan bersama ayahku di sisiku, kami punya waktu untuk menjadi keluarga yang tak pernah kami miliki.
