Aku pikir aku sedang menyelamatkan seorang wanita tunawisma, tapi aku sama sekali tidak tahu siapa dia sebenarnya. Saat suamiku melihatnya duduk di dapur kami, wajahnya langsung pucat. Lalu dia berbisik satu kata yang mengubah segalanya—”Ibu?”
Aku terbangun dengan rasa berat di dada. Bukan hanya karena kehamilan—tapi karena ketegangan tebal dan menyesakkan yang tak pernah hilang dari rumah kami. Di sampingku, Carter sudah bangun, bergerak di kamar tidur dengan gerakan cepat dan penuh ketidaksabaran.
“Baru bangun?”
Suaranya terdengar datar, tanpa kehangatan. Aku perlahan duduk.
“Aku tidak tidur nyenyak.”
“Mungkin kalau kamu tidak bermalas-malasan seharian, kamu akan cukup lelah untuk bisa tidur.”
Aku menelan ludah, menekan perutku dengan satu tangan.

Saat aku menikah dengan Carter, aku pikir dia adalah pasangan yang sempurna. Cerdas, karismatik, bisa diandalkan. Tapi seiring waktu, nada bicaranya jadi makin dingin, kesabarannya makin menipis.
Melihat ke belakang, aku sadar dia memang selalu seperti itu. Aku hanya tidak melihatnya karena dibutakan oleh cinta.
Begitu dia memiliki segalanya—rumahku, posisi kerjaku setelah aku cuti melahirkan—dia melepas topengnya. Dia tak punya alasan untuk berpura-pura lagi.
“Sarapan?” tanyaku.
Carter nyaris tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Kalau ada sesuatu yang layak dimakan.”
Aku berjalan ke dapur dengan pelan dan mulai menggoreng telur.
Inilah hidupku. Aku memasak untuk seorang pria yang tidak menghargai aku. Tinggal di rumah yang secara hukum bahkan bukan milikku lagi.
Aku begitu percaya, begitu bodoh. Pada satu titik, aku menandatangani semua dokumen rumah atas namanya, berpikir itu akan “lebih mudah” baginya untuk mengatur keuangan. Aku menyerahkan segalanya, percaya bahwa pernikahan berarti kepercayaan.
Di belakangku, Carter menghela napas keras.

— “Telurnya gosong? Kamu selalu terlalu lama masaknya.”
Aku menggigit lidahku. Apa pun yang kulakukan, rasanya tidak pernah cukup baik.
— “Sudahlah. Aku akan beli sesuatu di jalan ke kantor.”
Aku tidak membantah. Buat apa?
Dia mengambil kunci mobilnya.
— “Dan tolong bersihkan rumah dengan benar hari ini. Aku nggak mau pulang ke rumah yang berantakan.”
Pintu tertutup keras di belakangnya. Aku menutup mata, merasakan benjolan di tenggorokan semakin besar.
Aku nggak sanggup lagi.
Tanpa berpikir panjang, aku meraih tas dan mengenakan sepatu sneakers-ku. Toko kelontong tidak jauh, dan berjalan kaki bisa menenangkan pikiranku.
Aku keluar dari toko kelontong sambil membawa kantong kecil berisi barang-barang penting, tapi pikiranku melayang entah ke mana. Udara sore yang sejuk menyentuh kulitku saat aku melewati area parkir.
Lalu aku melihatnya.
Seorang wanita sedang mendorong troli belanja yang dipenuhi selimut tua dan beberapa tas usang. Di pangkuannya tergeletak sebidang kardus bertuliskan “Tuna wisma dan lapar” dengan huruf besar.
Aku memperlambat langkah.
Dia tidak terlihat seperti gambaran umum tunawisma. Rambutnya, meski berantakan, masih terlihat terawat. Pakaiannya tidak compang-camping, hanya agak usang. Tapi matanya yang lelah memancarkan sesuatu yang tak terduga: martabat.
Entah kenapa aku berhenti, tapi aku berhenti. Aku berbalik arah.
— “Apakah kamu butuh sesuatu?”
Wanita itu mengangkat pandangannya. Ia memberikan senyum kecil, hampir seperti mengejek dengan ramah.
— “Sayang, kalau aku mulai sebut semua yang kubutuhkan, kita bisa duduk di sini sampai malam.”
Tanpa sadar, aku tersenyum kembali.
— “Benar juga. Tapi serius… Makanan? Air?”
— “Aku akan baik-baik saja. Aku cuma… butuh sedikit waktu. Aku harus bangkit lagi.”
Ada sesuatu dalam cara dia mengatakannya yang membuatku percaya. Aku berjongkok di sampingnya, mengabaikan trotoar yang keras dan tidak nyaman.
— “Apa yang terjadi?”
— “Hidup terjadi. Suatu hari aku mengurus rumah, keesokan harinya aku tak punya tempat tinggal. Anakku mengusirku. Katanya aku terlalu merepotkan.”

— “Anakmu?”
— “Ceritanya panjang, tapi intinya… ada orang yang hanya mencintaimu saat kamu berguna bagi mereka.”
Hatiku terasa nyeri mendengar ucapannya. Terlalu dekat dengan kenyataan.
— “Aku… aku rasa aku mengerti.”
Mata birunya yang tajam menatapku dalam-dalam.
— “Suami?”
Aku tertawa kering.
— “Sebegitu kelihatannya, ya?”
— “Kamu keluar dari toko itu seperti seseorang yang membawa lebih dari sekadar belanjaan. Mau cerita?”
Seharusnya aku bilang tidak. Aku bahkan tidak kenal dia. Tapi ada sesuatu dalam kehadirannya yang terasa… aman.
— “Ini bukan cuma pernikahan yang buruk. Ini… aku bahkan nggak tahu siapa diriku lagi. Kupikir aku menikahi seseorang yang mencintaiku. Ternyata aku menikahi pria yang mencintai kendali.”
— “Dan sekarang kamu terjebak.”
— “Tepat sekali.” Aku menelan ludah, menatap retakan di trotoar.
— “Aku bahkan nggak punya rumah sendiri lagi. Aku menyerahkan semuanya padanya. Ternyata aku percaya pada orang yang salah.”
— “Ya. Aku tahu rasanya. Namaku Alice, omong-omong.”
— “Evelyn.”
Selama beberapa menit, kami hanya duduk dalam diam. Tapi bukan diam yang canggung.
— “Kamu punya tempat untuk tinggal?”
Alice menggeleng pelan.
— “Kalau begitu ikut aku.”
Alice menatap wajahku.
— “Dan suamimu?”
Aku menghela napas, sudah tahu badai yang akan kuhadapi.
— “Nggak usah khawatirin dia.”
Sore itu, aku membantu Alice beristirahat. Dia mandi lama dengan air hangat, dan saat dia keluar, mengenakan salah satu jubah mandiku, dia tampak seperti orang yang berbeda.
Wajahnya tak lagi lelah atau diselimuti bayangan keletihan. Aku tersenyum sambil menyerahkan setumpuk pakaian dari lemari.
— “Mungkin agak kebesaran, tapi setidaknya bersih.”

— “Kamu nggak harus melakukan ini, kamu tahu.”
— “Aku mau.”
Dia mengangguk, lalu menatapku dengan seksama.
— “Sudah berapa lama sejak ada orang yang melakukan sesuatu yang baik untukmu?”
Pertanyaannya mengejutkanku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Alice terkekeh, menggeleng pelan.
— “Sudah selama itu, ya?”
Aku tertawa kecil, pelan.
— “Iya.”
Setelah dia berganti pakaian, kami duduk di meja dapur dengan secangkir teh. Rumah terasa sangat sunyi. Aneh rasanya… ada teman bicara.
Itu pertama kalinya dalam bertahun-tahun aku tidak merasa kesepian di rumahku sendiri. Bahkan, aku merasa akhirnya melakukan sesuatu yang benar.
Beberapa jam kemudian, pintu depan dibanting. Carter pulang.
Kehadirannya memenuhi ruangan bahkan sebelum dia berbicara. Saat melihat Alice, Carter membeku.
— “Apa-apaan ini?” Matanya menatapku, lalu ke arah Alice.
— “Siapa dia?”
Alice perlahan mengangkat pandangannya, dan dalam sekejap, ekspresi Carter berubah. Sikap angkuhnya runtuh.
— “Ibu?!”
Aku berkedip, menatap mereka bergantian.
Keterkejutan Carter hanya bertahan sesaat sebelum wajahnya berubah menjadi marah. Ketidakpercayaannya berubah menjadi amarah.
— “Perempuan ini tunawisma yang nggak dikenal,” katanya dengan nada jijik sambil menunjuk Alice.
— “Dia nggak boleh tinggal di sini!”
Alice menyilangkan tangan, menatapnya penuh perhatian.
— “Jadi sekarang begitu caramu memperkenalkanku?”
— “Kamu bukan ibuku,” Carter menyambar.
— “Kamu berhenti jadi ibuku sejak kamu memilih pergi.”
Alice tertawa kecil, tanpa emosi.
— “Oh, Carter. Jadi begitu ceritamu sekarang? Aku yang pergi? Mungkin karena kamu yang mengusirku?”
— “Kamu meninggalkanku! Kamu egois, lebih mementingkan ambisimu daripada aku.”
— “Itu masalah utamamu, kan?”
Keheningan tegang menyelimuti ruangan, tapi Alice belum selesai.
— “Aku ingin punya karier. Aku ingin punya penghasilan sendiri. Aku ingin jadi lebih dari sekadar istri yang harus melayani suami. Dan kamu membenci itu. Ayahmu juga. Kalian berdua hanya ingin wanita yang tunduk dan menurut saja.”

— “Ayah sudah meninggal. Dan kamu! Kamu memalukan. Kamu menolak bersikap seperti ibu yang baik.”
— “Tidak. Aku menolak membesarkan anak laki-laki yang berpikir dia bisa memiliki seorang perempuan.”
Lalu dia berbalik ke arahku.
— “Evelyn, apa yang kamu pikirkan? Membawa dia ke rumahku?”
— “Rumah kita,” koreksiku, dengan suara setajam kaca.
Dia tertawa dingin.
— “Rumahmu? Tidak, sayang. Setelah kita menikah, rumah ini jadi milikku. Aku yang bayar semua tagihan. Aku yang bikin aturan. Keluar. Kalian berdua.”
Carter mulai kehilangan kendali—dan dia tahu itu.
Aku merogoh saku dan mengeluarkan kunci rumah. Tanpa berkata sepatah pun, aku melemparkannya ke lantai di depan Carter.
— “Rumah itu milikmu. Tapi sekarang kamu nggak punya keluarga lagi.”
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak merasa takut. Aku tidak merasa apa-apa.
Tanpa menunggu reaksinya, aku berbalik, mengambil mantelku, dan memasukkan sejumlah uang ke dalam saku. Kami melangkah ke trotoar yang kosong, udara dingin menggigit kulitku. Aku tidak punya rencana, tidak punya rumah, tidak tahu harus ke mana.
— “Sekarang ke mana?” tanyaku.
Alice menatapku dengan pandangan penuh arti dan memberi isyarat agar aku mengikutinya ke tikungan.
Aku ragu sesaat, tapi… apa lagi pilihanku?
Di bawah cahaya temaram lampu jalan yang berkedip, sebuah Mercedes hitam mewah terparkir di pinggir trotoar. Alice merogoh sakunya dan menekan sebuah tombol—lampu mobil itu menyala.
Aku terdiam. Otakku berusaha memproses apa yang kulihat.
— “Alice… Kamu… mencuri mobil?”
Dia tertawa kecil, renyah, penuh canda.
— “Sayang… aku cuma butuh kamu percaya padaku.”
— “Aku butuh penjelasan lebih sebelum naik ke mobil yang mungkin dicuri.”
Alice menyeringai dan membuka pintu pengemudi.
— “Ini punyaku.”
— “Punyamu?”
— “Ya. Terdaftar, diasuransikan, dan diparkir secara legal, kalau itu bisa bikin kamu lebih tenang. Jadi, kamu ikut atau lebih suka tidur di bangku halte malam ini?”
Alice tidak mengatakan sepatah kata pun sampai kami berada di jalan, dengan suara mesin menjadi satu-satunya yang terdengar.
Lampu-lampu kota melintas cepat, bayangannya menari di dasbor. Aku menatap keluar jendela, menunggu. Akhirnya, aku menoleh ke arahnya.
— “Kamu bilang… kamu tunawisma.”
— “Memang. Untuk sementara. Tapi aku bangkit lagi.”

— “Bagaimana bisa? Beberapa menit lalu kamu nggak punya apa-apa. Dan sekarang kamu menyetir Mercedes?”
— “Aku pura-pura jadi tunawisma. Dulu memang begitu. Tapi sekarang aku punya perusahaan sendiri. Aku sudah mengambil alih hidupku lagi.”
— “Apa?”
Alice membelok ke jalan yang sepi, dan rumah-rumah di sana tampak lebih besar dan megah. Dia berhenti di depan rumah indah dengan jendela-jendela tinggi.
— “Alice… rumah siapa ini?”
Dia mematikan mesin dan melepas sabuk pengamannya.
— “Rumahku.”
Aku menoleh padanya dengan tatapan tak percaya.
— “Kenapa kamu melakukan semua ini? Kenapa repot-repot dengan ujian rumit ini, bukan langsung membantuku?”
— “Karena aku melihat masa depan cucuku. Aku tahu kamu sedang hamil sejak pertama melihatmu. Dan aku harus tahu. Kalau kamu benar-benar baik, kamu pasti mau membantu wanita tunawisma. Kalau anakku masih monster, dia akan menunjukkan wajah aslinya.”
— “Lalu sekarang bagaimana?” bisikku.
— “Sekarang, itu tidak penting lagi. Aku akan membantumu.”
Air mata menggenang di mataku. Aku akhirnya merasa bebas dan aman.
Beberapa minggu berlalu. Aku masih beradaptasi dengan kenyataan baru: bangun di tempat tidur yang tidak terasa seperti penjara, minum kopi tanpa merasa dihakimi.
Lalu, suatu sore, bel rumah berbunyi. Aku dan Alice saling menatap. Kami berdua tahu siapa itu sebelum aku membuka pintu.
Carter. Dia tampak menyedihkan.
— “Aku salah,” katanya, gelisah.
— “Aku… aku sadar sekarang. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
— “Memperbaiki semuanya?” Alice mengulang, dengan nada sinis.
Carter menunduk, malu.
— “Aku tahu aku menghancurkan segalanya. Aku tahu aku menyakiti kalian. Tapi aku nggak mau jadi orang seperti itu lagi.”
Aku menatapnya lama. Aku bukan diriku yang dulu.
— “Kamu mau memperbaikinya? Mulailah dengan ikut terapi. Dan mungkin… benar-benar bantu orang tunawisma, bukan malah mengusir mereka.”
— “Aku akan lakukan. Demi bayi kita.”
Mungkin dia akan berubah. Mungkin tidak. Tapi apa pun yang terjadi, masa depanku kini sepenuhnya milikku.
