Bibiku Memperjuangkan Hak Asuh atas Saudaraku — Tapi Aku Tahu Motif Sebenarnya.

Cerita yang menarik

Sehari setelah aku mengubur orang tuaku, aku menjadi dewasa. Bukan karena aku berusia delapan belas tahun, tapi karena seseorang mencoba mengambil satu-satunya keluarga yang masih aku miliki. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Sebagai anak laki-laki berusia 18 tahun, aku tak pernah membayangkan akan menghadapi babak tersulit dalam hidupku — mengubur kedua orang tuaku dan ditinggalkan bersama adikku yang berusia enam tahun, Max, yang masih mengira Ibu hanya sedang dalam perjalanan panjang.

Lebih buruknya lagi, hari pemakaman adalah hari ulang tahunku.

Orang-orang berkata, “Selamat ulang tahun ke-18,” seolah itu berarti sesuatu.

Padahal tidak.

Aku tidak ingin kue. Aku tidak ingin hadiah. Aku hanya ingin Max berhenti bertanya, “Kapan Ibu pulang?”

Kami masih mengenakan pakaian hitam saat aku berlutut di makam dan membisikkan janji kepadanya:
“Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu. Tidak akan pernah.”

Tapi sepertinya tidak semua orang setuju dengan rencana itu.

“Ini demi kebaikanmu, Ryan,” kata Bibi Diane, suaranya dibalut kepura-puraan peduli saat ia menyerahkan secangkir cokelat panas yang tidak pernah aku minta. Dia dan Paman Gary mengundang kami seminggu setelah pemakaman. Kami duduk di meja dapur mereka yang tampak sempurna. Max bermain dengan stiker dinosaurusnya sementara mereka menatapku dengan wajah penuh belas kasihan yang sama.

“Kamu masih anak-anak,” kata Diane sambil menyentuh lenganku seolah kami berteman. “Kamu belum punya pekerjaan. Kamu masih sekolah. Max butuh rutinitas, bimbingan… sebuah rumah.”

“Rumah yang sesungguhnya,” tambah Paman Gary, seperti mereka sudah berlatih kalimat itu.

Aku menatap mereka, menggigit bagian dalam pipiku begitu keras sampai berdarah. Ini orang yang sama yang lupa ulang tahun Max tiga tahun berturut-turut. Orang yang sama yang membatalkan datang saat Thanksgiving karena alasan “pergi berlayar.”

Dan sekarang mereka ingin jadi orang tua?

Keesokan paginya, aku tahu mereka sudah mengajukan permohonan hak asuh. Saat itulah aku sadar, ini bukan kepedulian.

Ini strategi. Dan jauh di dalam hati, aku tahu ada yang tidak beres. Diane tidak menginginkan Max karena dia menyayanginya.

Dia menginginkannya karena alasan lain.

Dan aku akan segera tahu alasannya. Aku tidak akan membiarkan mereka menang.

Sehari setelah Diane mengajukan permohonan hak asuh, aku pergi ke kantor kampus dan mengundurkan diri. Mereka bertanya apakah aku yakin. Aku menjawab “ya” bahkan sebelum mereka menyelesaikan kalimatnya. Pendidikan bisa menunggu. Adikku tidak.

Aku mengambil dua pekerjaan. Siang hari, aku menjadi kurir makanan — datang membawa tas-tas berisi makanan dan senyum yang dipaksakan, tak peduli seberapa kasar pelanggan. Malam harinya, aku membersihkan kantor pengacara — ironis, mengingat aku sedang bersiap untuk pertempuran hukumnya sendiri.

Kami pindah dari rumah keluarga. Aku tak mampu membayar biayanya lagi. Sebagai gantinya, Max dan aku tinggal di apartemen studio mungil yang bau pembersih lantai dan makanan sisa. Kasur menempel di satu dinding, dan futon menyentuh dinding lainnya. Tapi meskipun begitu, Max tetap tersenyum.

“Tempat ini kecil tapi hangat,” katanya suatu malam, membungkus dirinya dengan selimut seperti burrito. “Bau pizza… dan rumah.”

Kata-kata itu hampir membuatku hancur. Tapi juga memberiku kekuatan. Aku mengajukan dokumen untuk menjadi wali sah. Aku tahu aku masih muda. Aku tahu kemungkinan tidak berpihak padaku. Tapi aku juga tahu Max butuh aku — dan itu pasti berarti sesuatu.

Lalu semuanya berubah menjadi neraka pada suatu pagi.

“Dia bohong.” Aku berdiri membeku di ruang tamu, menatap laporan dari Dinas Sosial di tanganku.

“Dia bilang apa?” bisikku, dengan suara kosong.

Pekerja sosial itu tak menatap mataku. “Dia mengklaim kamu sering meninggalkan Max sendirian. Bahwa kamu berteriak padanya. Bahwa kamu memukulnya… lebih dari sekali.”

Aku tak bisa bicara, tak bisa berpikir. Yang bisa kulihat hanyalah wajah Max — tawanya saat aku berbicara dengan suara aneh, caranya memelukku saat badai petir. Aku tidak akan pernah menyakitinya.

Tapi Diane sudah menanamkan keraguan. Dan keraguan itu berbahaya.

Yang tidak Diane perhitungkan adalah Bu Harper — tetangga kami, pensiunan guru kelas tiga yang menjaga Max saat aku kerja lembur. Dia melangkah ke pengadilan seolah-olah dia pemilik gedung itu, membawa map cokelat dan mengenakan kalung mutiara yang berkilau seperti baju zirah.

“Anak laki-laki itu,” katanya sambil menunjukku tanpa ragu, “membesarkan adiknya dengan lebih banyak cinta dibandingkan kebanyakan orang tua sepanjang hidup mereka.”

Lalu dia menatap hakim, menyipitkan mata, dan berkata, “Dan saya ingin melihat siapa pun yang berani berkata sebaliknya.”

Menang di pengadilan bukanlah hal yang mudah, tapi kesaksian Bu Harper memberi kami harapan. Hakim setuju untuk menunda keputusan hak asuh permanen dan memberikan kunjungan yang diawasi untuk Diane. Itu bukan kemenangan penuh, tapi cukup untuk membuat kami bisa bernapas lagi.

Setiap hari Rabu dan Sabtu, aku harus mengantar Max ke rumah Diane. Setiap kali, perutku terasa mual, tapi itu perintah pengadilan, dan aku tak ingin memberi mereka alasan lain untuk meragukanku.

Suatu Rabu malam, aku datang sedikit lebih awal dari biasanya. Rumah itu sunyi — terlalu sunyi. Diane membuka pintu dengan senyum palsunya yang biasa, seperti sedang berusaha terlihat manusiawi.

Max berlari ke arahku, pipinya merah dan basah oleh air mata.

“Dia bilang kalau aku nggak manggil dia ‘Mama’, aku nggak boleh makan dessert,” bisiknya sambil memeluk hoodie-ku erat seperti pelampung hidup.

Aku berlutut, menyibak rambutnya. “Kamu nggak perlu manggil siapa pun ‘Mama’ selain Ibu,” kataku padanya. Dia mengangguk, tapi bibirnya gemetar.

Malam itu, setelah aku menidurkannya, aku keluar sebentar untuk membuang sampah. Aku tidak berniat menguping. Tapi saat melewati sisi bangunan dekat jendela dapur Diane, aku mendengar suaranya — tajam, angkuh, dan terdengar dari speakerphone.

“Kita harus percepat ini, Gary. Begitu kita dapat hak asuh, negara akan melepaskan dana perwalian itu.”

Aku membeku.

Dana perwalian? Aku tidak tahu kalau Max punya dana perwalian.

Aku menunggu sampai telepon ditutup, lalu bergegas masuk dan menghabiskan setengah malam menggali informasi. Tanganku gemetar saat membaca dokumen-dokumen itu. Dana sebesar $200.000 telah disiapkan oleh orang tua kami sebelum kecelakaan — untuk masa depan Max, kuliahnya, dan hidupnya.

Dan Diane menginginkannya.

Malam berikutnya, aku kembali ke tempat yang sama. Titik yang sama, jendela yang sama. Kali ini, aku menekan tombol rekam di ponselku. Suara Gary terdengar samar. “Begitu uangnya masuk ke rekening kita, kita bisa kirim Max ke sekolah asrama atau semacamnya. Dia bikin repot.”

Lalu Diane tertawa — suara yang membuat bulu kudukku berdiri. “Aku cuma mau mobil baru. Dan mungkin liburan ke Hawaii.”

Aku menghentikan rekaman itu, jantungku berdentam seperti genderang di telinga.

Keesokan paginya, aku mengirimkannya ke pengacaraku.

Setelah sarapan, aku masuk ke kamar Max. Dia menatapku dari buku mewarnainya.

“Apa bagian buruknya sudah selesai?” tanyanya pelan.

Aku tersenyum untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu.

“Hampir.”

Pada sidang terakhir hak asuh, Diane masuk seperti akan pergi ke acara arisan. Kalung mutiara berkilau, senyum lebarnya dipaksakan, dan satu kaleng kue buatan sendiri di tangannya. Dia bahkan menawarkan satu ke petugas keamanan.

Aku dan pengacaraku masuk membawa sesuatu yang lebih kuat — kebenaran.

Hakim — seorang wanita tegas — mendengarkan dengan tenang saat pengacaraku menekan tombol putar. Audio itu memenuhi ruang sidang seperti awan gelap yang merayap masuk.

“Kita harus percepat ini, Gary. Begitu kita dapat hak asuh, negara akan melepaskan dana perwalian…”

Lalu suara Gary: “Begitu uangnya masuk ke rekening kita, kita bisa kirim Max ke sekolah asrama atau semacamnya. Dia bikin repot.”

Wajah sang hakim perlahan berubah, seperti saklar lampu yang diputar dari sopan ke jijik. Ketika rekaman selesai, keheningan menggantung seperti tali yang siap menjerat.

“Kamu memanipulasi pengadilan ini,” kata hakim akhirnya, suaranya dingin seperti batu. “Dan menjadikan anak sebagai pion demi keuntungan finansial.”

Diane tak lagi tersenyum. Lipstiknya tampak retak. Tangan Gary gemetar di pangkuannya. Mereka tak hanya kalah dalam perebutan hak asuh — mereka langsung dilaporkan atas upaya penipuan. Aku melihat kaleng kue itu didorong pelan ke samping, tak tersentuh.

Sore itu, hakim memberikan aku hak asuh penuh atas Max. Ia bahkan menyatakan aku akan dipertimbangkan untuk dukungan perumahan, mengingat “usaha luar biasa dalam situasi yang penuh tantangan.”

Di luar gedung pengadilan, Max menggenggam tanganku erat seolah tak ingin melepaskannya.

“Kita pulang sekarang?” tanyanya, suaranya kecil tapi mantap.

Aku berlutut di sampingnya, menyibak rambutnya seperti biasa. “Iya,” kataku, nyaris menahan air mata. “Kita pulang.”

Saat kami menuruni tangga, kami melewati Diane. Riasannya luntur, mulutnya cemberut penuh kepahitan. Dia tak mengatakan sepatah kata pun.

Dia tak perlu.

Sudah dua tahun berlalu. Aku bekerja penuh waktu dan mengambil kuliah online. Max kini duduk di kelas dua dan berkembang pesat. Dia sering bilang ke teman-temannya bahwa aku adalah “kakak sekaligus pahlawannya.” Kami masih tinggal di apartemen kecil, masih berdebat soal film, dan masih tertawa saat cerita sebelum tidur kacau.

Aku bukan orang sempurna. Tapi kami aman. Kami bebas. Kami adalah kami.

Karena cinta tak diukur dari usia atau isi rekening. Cinta diukur dari perjuangan.

Dan ketika malam ini Max menatapku dan berbisik, “Kakak nggak pernah nyerahin aku,” aku menjawab satu hal yang paling penting:

“Aku nggak akan pernah.”

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article