Pada hari ulang tahun saya, saya duduk sendirian di meja untuk dua orang yang diterangi cahaya lilin—lagi. Tiga tahun, tiga kali dia tidak datang, dan satu suami yang selalu punya alasan. Tapi malam itu, saya sudah tak tahan lagi. Saya bilang padanya bahwa semuanya sudah berakhir… dan saya pikir saya benar-benar serius—sampai akhirnya saya mengetahui kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.
Sudut bilik itu tersembunyi, persis seperti yang saya suka. Cukup jauh dari keramaian, tapi cukup dekat ke jendela untuk melihat dunia berlalu.
Dinding bata memancarkan keheningan yang hangat, seolah menyimpan banyak rahasia.
Lagu jazz lama mengalun pelan dari pengeras suara di atas, lembut dan lambat, seperti detak jantung. Saya dulu sangat menyukai tempat itu.
Lilin di meja saya berkelap-kelip, lilinnya membentuk genangan kecil di dasarnya. Sudah setengah habis—seperti anggur di gelas saya.
Kursi di seberang saya tetap kosong, tak tersentuh. Bahkan serbetnya belum terlipat.
Pelayan sudah datang dua kali. Setiap kali, dia bertanya dengan senyum ramah apakah saya sudah siap memesan. Dan setiap kali saya menjawab, “Tunggu beberapa menit lagi.”
Tapi saat ia datang untuk ketiga kalinya, senyumnya berubah. Jenis senyum yang diberikan kepada seseorang yang mulai membuatmu merasa iba.
“Apakah Anda sudah siap memesan, Bu?” tanyanya dengan lembut.
Saya tidak langsung menoleh. Saya hanya menatap kursi kosong itu.
Lalu saya berkedip, memaksakan senyum yang tidak sampai ke mata, dan berkata, “Saya akan segera pergi.”

Dia mengangguk, melangkah mundur dengan anggun dan tenang, tapi aku bisa merasakannya—rasa iba yang mengisi ruang di mana seharusnya ada perayaan.
Aku melipat serbetku dengan hati-hati, seolah-olah itu penting.
Kusandang tas di bahu. Suara hak sepatuku bergema di lantai ubin seperti detak jam yang terlalu keras.
Aku melewati meja-meja berisi pasangan yang bersulang, tertawa pelan, tenggelam dalam kebersamaan.
Di luar, udara malam menggigit kulitku. Dingin yang membuatmu terjaga, bahkan saat kau tak ingin sadar.
“Sarah!”
Aku terhenti.
Aku berbalik. Dan di sanalah dia. Mark. Suamiku. Nafas terengah-engah, dasi miring, rambut berantakan ditiup angin.
“Aku minta maaf,” katanya. “Tadi macet dan aku—”
“Tidak,” kataku. Kata-kata itu terasa membeku di tenggorokan.
“Kau tak bisa melakukannya lagi.”
“Aku berusaha—”
“Kau sudah berusaha selama tiga tahun, Mark. Tiga ulang tahun. Setiap kali kau ‘sibuk,’ atau ‘terlambat,’ atau ‘lupa.’ Aku selesai.”
“Aku tidak bermaksud—”
“Aku tidak peduli.” Suaraku pecah, tapi tetap kupertahankan.
“Aku istrimu. Aku pantas mendapatkan lebih.”
Dia memalingkan wajah.
“Besok kau akan menerima surat cerai,” kataku.
Dan aku berjalan pergi, suara hak sepatuku terdengar di trotoar. Dia tak mengejar. Hanya berdiri—sendirian di bawah lampu jalan.
Dua minggu setelah surat cerai ditandatangani dan resmi, dunia mulai kembali tenang.
Keheningan di rumahku tak lagi terasa menusuk—hanya terasa hampa. Sore itu, aku sedang menyeruput kopi hangat yang mulai dingin dan melipat handuk saat suara ketukan menggema di seluruh rumah.
Aku membuka pintu dan di sanalah dia berdiri—Evelyn, ibu Mark.
Dia tampak berbeda. Bukan sosoknya yang biasanya rapi dan suka menghakimi.
Rambutnya berantakan karena angin, dan wajahnya—yang biasanya tegang karena rasa bangga—kini tampak layu dan lembut, seperti seseorang yang memikul beban berat.

“Aku tahu aku bukan orang favoritmu,” katanya sambil menggenggam tas kulit kaku dengan kedua tangan.
“Dan aku tahu kau mungkin tidak ingin melihatku. Tapi aku perlu mengatakan sesuatu.”
Aku tak berkata apa-apa. Aku hanya menyingkir, mempersilahkannya masuk.
Kami duduk di meja dapur seperti orang asing yang menunggu bus. Jam berdetak terlalu keras. Aku menunggu.
Dia berdeham.
“Kau selalu… keras kepala,” katanya. “Tidak mudah. Tapi aku tak pernah meragukan bahwa kau mencintai anakku.”
“Aku memang mencintainya,” kataku, datar.
Dia mengangguk. “Yah, dia juga sangat mencintaimu. Meskipun caranya aneh menunjukkan itu.”
Aku menatap cangkirku yang sudah retak. “Dia punya banyak kesempatan.”
Dia tak membantah. Hanya merogoh tasnya dan menyodorkan selembar kertas kecil yang terlipat ke atas meja.
“Ada sesuatu yang kau tidak tahu. Dulu aku pikir bukan tugasku untuk memberi tahu, tapi sekarang… sekarang aku rasa lebih buruk jika menyembunyikannya darimu.”
Aku membukanya. Itu sebuah alamat. Ditulis tangan.
“Apa ini?”
Dia berdiri, menutup resleting mantel.
“Pergilah lihat sendiri. Kau tidak perlu bicara padanya. Bahkan tidak perlu keluar dari mobil. Tapi kalau kau pernah peduli, walau hanya sedikit, setidaknya kau harus tahu.”
Lalu dia pergi, mantelnya tertiup angin seperti bendera.
Pemakaman itu sunyi—terlalu sunyi, seperti tanah itu sendiri sedang menahan napas.
Kerikil berderak di bawah sepatuku saat aku melangkah melewati batu nisan tua yang telah halus dimakan waktu dan cuaca.
Pohon-pohon ek yang berjajar di sepanjang jalan berdiri menjulang, cabangnya menggantung berat, daunnya berbisik menyampaikan rahasia yang tak ingin kudengar.
Aku berjalan perlahan di antara barisan makam, membaca nama-nama orang asing, beberapa pergi di usia muda, beberapa sudah tua. Setiap nama diiringi duka.
Dadaku terasa sesak, seperti ada yang menekan dari dalam. Lalu mataku menangkapnya.

Lily Harper
Lahir: 12 Oktober 2010 – Meninggal: 12 Oktober 2020
Aku terhenti. Tanganku menjadi dingin. Hari ulang tahunku. Tanggal yang sama. Angka-angka itu menatap balik padaku seolah tahu aku akan datang pada akhirnya.
Tak ada pesan panjang. Tak ada ukiran bunga di batu nisannya. Hanya namanya, tanggal-tanggal itu, dan beban hidup singkat yang terpotong di tengah jalan.
Aku berdiri membeku, membaca tulisan itu lagi dan lagi, seperti berharap bisa mengubah maknanya kalau aku cukup sering berkedip. Tapi tidak berubah. Tidak akan pernah.
Dingin merayap di tulang punggungku, dan aku mengulurkan tangan, menyentuh pinggiran batu itu dengan jari yang gemetar.
Lalu aku mendengarnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Aku perlahan berbalik. Mark.
Dia terlihat lebih kurus. Jaketnya berdebu, dan matanya—mata cokelat lembut itu—tampak cekung, seperti tidur telah melupakannya.
“Aku tidak menyangka akan melihatmu,” katanya, suaranya datar, pelan.
“Aku juga tidak menyangka ini,” bisikku. “Siapa dia?”
Dia menatap makam itu.
“Putriku. Dari pernikahan pertamaku.”
Kata-kata itu menghantam seperti pukulan di dada.
“Dia berusia sepuluh tahun,” katanya setelah jeda.
“Kecelakaan mobil. Ibunya dan aku… kami tak bisa bertahan. Kami bercerai tak lama setelah pemakamannya.”
Aku tak bisa bicara. Tak tahu harus berkata apa. Yang bisa kulakukan hanya berlutut di samping makam itu.
Seseorang—kurasa dia—telah meninggalkan bunga segar dalam toples kaca.
Bunganya sudah sedikit layu tapi masih indah. Dan di sampingnya ada sebuah tiara plastik kecil.
Jenis yang biasa dipakai anak perempuan saat ingin merasa seperti putri.
“Kau datang ke sini setiap tahun?” tanyaku, nyaris tak terdengar dari hembusan angin.
Dia mengangguk.
“Setiap tahun. Di hari ulang tahunnya.”
“Di hari ulang tahunku,” kataku.
Dia memalingkan wajah, rahangnya mengencang.
“Aku ingin ada untukmu. Aku mencoba. Tapi aku tak bisa lakukan keduanya. Aku tak tahu bagaimana cara merayakanmu sambil meratapi dia. Rasanya seperti mengkhianati kalian berdua.”
Kami duduk di bangku kayu di pinggiran pemakaman, cukup jauh dari makam-makam lain untuk merasa sendiri, tapi cukup dekat untuk masih bisa mendengar angin menyusup di antara daun-daun seperti lagu pelan.

Udara terasa lembap, dipenuhi aroma tanah basah dan wangi manis daun-daun gugur yang mulai memudar. Di suatu tempat dekat situ, seekor burung gagak berseru—nyaring dan kesepian.
Aku terus menatap tanah dalam waktu yang lama. Hatiku dipenuhi terlalu banyak perasaan yang sulit diberi nama. Akhirnya, aku memecah keheningan.
“Aku pikir kamu tidak peduli,” kataku. Suaraku terdengar kecil, bahkan di telingaku sendiri. “Aku pikir kamu sudah melupakan aku.”
Mark menoleh ke arahku, wajahnya lelah namun jujur. “Aku tidak pernah melupakanmu,” katanya. “Bahkan sekali pun. Aku mencintaimu, Sarah. Masih.”
Aku menunduk, menatap tangannya yang terlipat di pangkuan. Aku mengenal tangan itu. Tangan yang dulu menggenggam tanganku di banyak makan malam.
Tangan yang menaikkan volume musik saat kami berdansa di ruang tamu.
Tangan yang memijat punggungku saat perjalanan jauh dan meraihku saat film sedih.
“Kamu seharusnya memberitahuku,” kataku, dengan nada yang lebih tajam dari yang aku maksudkan.
Dia memalingkan wajah, lalu menatapku lagi. “Aku takut,” katanya.
“Takut kamu akan pergi. Takut kalau aku membuka pintu itu, semuanya akan runtuh.”
Aku mengangguk pelan.
“Kamu seharusnya percaya padaku.”
Dia menelan ludah, berkedip cepat, seolah mencoba menahan semua yang tak pernah ia ucapkan selama bertahun-tahun.
“Aku tahu,” katanya.
“Kamu benar.”
Aku menghembuskan napas panjang, menatap ke arah pepohonan.
“Aku tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Begitu juga kamu. Tapi mungkin…” Aku berhenti sejenak, lalu menatapnya.
“Mungkin kita bisa mengubah apa yang akan datang.”
Dia menatapku, dan aku melihat sesuatu berubah di matanya. Sesuatu yang lembut. Harapan, mungkin.
“Aku tidak bilang kita kembali seperti dulu,” tambahku.
“Tapi mungkin kita coba lagi. Dari awal. Tanpa kebohongan. Tanpa diam. Tanpa rahasia.”
Mark berkedip beberapa kali dan memberikan senyum kecil, hati-hati. “Aku ingin itu,” katanya lirih.
Aku mengangguk. “Kalau begitu, kita coba.”
Setahun kemudian, dunia terasa lebih lembut. Luka itu belum hilang, tapi tidak lagi menyakitkan seperti dulu.

Mark dan aku berdiri berdampingan di makam Lily, mengenakan mantel tebal, napas kami terlihat dalam bentuk uap kecil di udara dingin.
Angin menggoyangkan pepohonan di sekitar kami, dan daun-daun—emas, merah, dan cokelat—menari di atas rumput.
Aku membungkuk dan meletakkan kue cokelat kecil di tanah, cukup untuk satu lilin. Mark berlutut di sampingku dan dengan lembut meletakkan sebuah foto Lily.
Dia tersenyum lebar, mengenakan tiara plastik yang sama seperti yang pernah kulihat beberapa bulan lalu.
Dadaku terasa sesak, tapi bukan karena sakit—melainkan karena cinta. Untuk seorang gadis yang tak pernah kukenal, tapi kini tinggal di hatiku.
Kami tinggal di sana beberapa saat dalam diam, lalu berkendara ke sebuah kedai kecil di pinggiran kota. Tempat itu memiliki lantai kotak-kotak dan kopi yang hangat.
Kami berbagi sepotong pai apel di bilik pojok. Bilik yang sama tempat orang-orang datang untuk memulai kembali.
Mark merogoh saku mantelnya dan menyerahkan sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan hati-hati.
“Ini untuk ulang tahunmu,” katanya.
Aku membukanya perlahan. Di dalamnya ada kalung emas dengan liontin kecil berbentuk bunga lily.
Mataku berkaca-kaca. “Ini indah sekali,” kataku, suaraku nyaris tak terdengar.
“Aku tak akan pernah melewatkan ulang tahunmu lagi,” katanya.
“Aku tahu,” bisikku, meraih tangannya.
Karena sekarang, kami tak hanya merayakan satu kehidupan. Kami menghormati dua.
Dan yang terbaik—kami melakukannya bersama.