Suami saya tiba-tiba kembali untuk mengambil anak saya. Hati saya hancur sampai saya mengetahui rahasianya.

Cerita yang menarik

Saat itu sudah larut malam, toko kelontong sunyi dan pengap, ketika pintu otomatis terbuka dan suami saya—yang telah menghilang selama satu dekade—masuk begitu saja, tersenyum, dan membalikkan hidup saya hanya dengan satu pandangan ke laci kasir.

Malam itu saya berdiri di balik meja kasir, dengan hati-hati menghitung uang hasil penjualan hari itu.

Lampu neon berdengung pelan di atas kepala saya, membuat mata saya terasa lelah dan berat.

Kaki saya pegal karena berdiri di tempat yang sama seharian.

Saya menggeser berat badan dari satu kaki ke kaki lainnya, rindu akan kenyamanan rumah.

Udara di dalam toko berbau kuat bahan pembersih yang bercampur dengan aroma roti basi. Tidak enak, tapi saya sudah terbiasa selama bertahun-tahun.

Namun malam ini terasa berbeda.

Yang saya inginkan hanyalah menutup toko dan segera pulang ke rumah menemui anak saya, Noah. Saya membayangkan dia tertidur di ranjangnya, napasnya lembut dan tenang.

Tiba-tiba, pintu otomatis terbuka dengan desisan tajam, mengejutkanku. Langkah kaki terdengar pelan di lantai yang mengilap, semakin mendekat.

Aku mendongak, jantungku berdegup kencang karena terkejut.

Napas tercekat di dadaku dengan rasa sakit.

Berdiri di depanku, dengan santai dan tenang, adalah Daniel — suamiku. Suamiku yang menghilang sepuluh tahun lalu tanpa sepatah kata pun.

Daniel, yang meninggalkanku dengan malam-malam tanpa tidur dan hati yang hancur.

Dia berdiri seolah-olah tidak ada waktu yang berlalu, mengenakan senyum tenang yang selalu dia pakai saat menginginkan sesuatu.

“Halo, Anna,” katanya pelan. Suaranya terdengar tenang, seolah-olah dia hanya pergi sehari, bukan satu dekade.

Tanganku sedikit gemetar saat kemarahan dan kebingungan membuncah dalam diriku.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Daniel?” tanyaku, suaraku bergetar meskipun aku berusaha terdengar kuat.

Dia bersandar santai di meja kasir, seolah tidak ada yang berubah di antara kami.

Matanya sempat melirik ke arah laci kasir yang terbuka, lalu kembali menatapku perlahan.

“Aku cuma lewat,” katanya ringan.

“Pikir-pikir ingin tahu kabar kalian. Bagaimana kamu dan Noah?”

Mendengar dia menyebut nama anak kami terasa salah, bahkan menyakitkan.

Kedua tanganku mengepal erat di samping tubuh, kuku-kukuku menekan telapak tangan.

“Kamu nggak berhak nanya itu,” kataku dengan suara rendah yang penuh emosi.

“Kamu kehilangan hak itu saat kamu menghilang.”

Daniel menoleh sebentar, masih dengan senyum tipis, seolah kata-kataku tidak benar-benar mengganggunya.

“Baiklah,” katanya sambil mengangkat bahu. “Kalau begitu, aku akan pergi.”

Tanpa sepatah kata pun lagi, dia berbalik dan berjalan keluar, sama santainya seperti saat dia masuk.

Aku menatap kepergiannya, jantungku berdebar keras dan nyeri di dada.

Keheningan setelah dia pergi terasa berat dan mencekik.

Aku menarik napas dalam-dalam dan memaksakan diri untuk menyelesaikan menghitung uang.

Tanganku kini gemetar hebat, jari-jariku kesulitan memegang lembaran uang.

Lalu tiba-tiba, kepanikan datang. Ada yang tidak beres.

Perutku terasa melilit saat aku menghitung ulang, berharap dengan putus asa bahwa aku hanya salah hitung.

Lebih dari seribu dolar hilang.

Detak jantungku semakin cepat.

Dengan jari yang gemetar, aku menekan nomor manajerku, Pak Jenkins.

Dia datang dengan cepat, wajahnya penuh kekhawatiran.

“Apa yang terjadi, Anna?” tanyanya serius, ekspresinya cemas.

“Aku nggak tahu,” jawabku gugup.

“Daniel tadi ke sini—suamiku. Dia berdiri di dekat kasir, tapi—aku nggak tahu…”

Pak Jenkins menggeleng pelan, tampak ragu.

“Mari kita periksa loker-mu.”

Jantungku benar-benar jatuh ketika dia membuka lokerku. Uang kertas beterbangan pelan, jatuh di kaki kami.

Pak Jenkins menatapku sedih, jelas-jelas kecewa.

“Aku nggak ngambil itu!” pintaku dengan suara putus asa dan ketakutan.

Dia menghela napas panjang, menggeleng lagi.

“Anna, ini serius. Aku sudah percaya padamu. Kamu dipecat.”

Perjalanan pulang malam itu terasa jauh lebih berat dari biasanya. Lampu kota terlihat buram di jendela, tapi aku nyaris tak memperhatikannya.

Tanganku mencengkeram setir lebih erat dari yang diperlukan. Dada terasa sesak, pikiranku kacau.

Aku bahkan tidak menyalakan radio—hanya keheningan, kecuali suara mesin dan dengungan di kepalaku.

Saat aku masuk ke apartemen kecil kami, keheningan terasa semakin menusuk.

Semua terasa hening dan kosong, seperti jeda di antara dua gemuruh petir. Aku berjalan pelan ke kamar Noah.

Tubuh kecilnya meringkuk di bawah selimut, satu tangan tergantung di sisi tempat tidur.

Napasnya pelan dan tenang, tak menyadari badai yang menantinya di luar mimpinya.

Aku duduk di sampingnya, mengusap pelan rambut cokelatnya yang berantakan.

Aku bersenandung pelan lagu nina bobo yang dia sukai—lagu yang dulu sering aku nyanyikan saat dia masih kecil, sedang tumbuh gigi, dan terlalu rewel untuk tidur.

Suaraku patah saat air mata pertama jatuh di pipiku. Aku tak mengusapnya. Aku biarkan saja mengalir.

Bagaimana aku bisa menafkahinya sekarang?

Pagi harinya, aku berusaha bersikap seperti biasa. Roti panggang, jus, beberapa senyum lelah.

Noah diam saja, mengunyah perlahan, sesekali menatapku.

Lalu terdengar ketukan. Tajam. Tegas. Seperti punya tujuan.

Aku membuka pintu dan menemukan seorang wanita berdiri di sana. Usia sekitar 40-an, rambut rapi, memegang clipboard erat seperti tameng.

“Saya dari Dinas Perlindungan Anak,” katanya lembut, tapi dengan nada resmi yang membuat perut langsung terasa mual.

“Kami menerima laporan tentang kondisi tempat tinggal Noah.”

Suaraku tercekat. “Siapa yang melaporkan kami?”

Dia melangkah ke samping. “Ayahnya.”

Dan di sanalah dia—Daniel. Menyeringai seperti baru saja memenangkan sesuatu. Wajahku memerah karena marah. Tangan mengepal.

“Kamu yang meninggalkan kami! Berani-beraninya kamu!” seruku, kata-katanya meluncur tanpa bisa kucegah.

Daniel tidak gentar. “Sekarang aku di sini. Aku bisa memberi Noah apa yang dia butuhkan.”

Noah berlari ke arahku, memelukku erat.

“Bu, jangan biarkan mereka bawa aku pergi,” bisiknya.

Wanita itu menatap kami dengan tatapan hampir seperti iba.

“Apakah kamu punya rumah sendiri, Anna?”

“Tidak,” jawabku lirih.

“Kamu sedang bekerja sekarang?”

“Aku baru saja dipecat kemarin.”

Dia terdiam sejenak, lalu melihat kembali clipboard-nya.

“Kamu punya waktu sampai akhir bulan—satu minggu—untuk menunjukkan bahwa kamu bisa menafkahinya. Kalau tidak, hak asuh akan diberikan ke ayahnya.”

Dan begitu saja, mereka pergi. Pintu tertutup di belakang mereka.

Aku berdiri terpaku, Noah masih memelukku erat, dan beban kehilangan segalanya menindihku seperti ribuan batu bata.

Malam itu, aku duduk di sofa tua di pojok ruang tamu.

Satu lampu redup berkedip di atas kepalaku, menyinari karpet dengan cahaya oranye yang lemah.

TV mati. Keheningan terdengar lebih keras dari suara apa pun.

Tanganku bertumpu di pangkuan, saling menggenggam, dingin meskipun sudah berselimut.

Aku menatap dinding tanpa benar-benar melihatnya. Pikiranku berputar seperti roda yang tak mau berhenti.

Kenapa tiba-tiba Daniel peduli pada Noah?

Dia menghilang selama sepuluh tahun. Tak satu pun kartu ulang tahun. Bahkan tak satu pesan.

Noah tumbuh tanpa dia — bahkan tanpa bayangannya sekalipun.

Lalu, seperti petir yang menyambar langsung ke dada, semuanya menjadi jelas.

Uang yang hilang. Loker. Daniel muncul tepat sebelum itu terjadi.

Tentu saja. Dia menjebakku. Pasti begitu. Semuanya terlalu pas.

Waktunya. Minat mendadaknya pada Noah. Itu bukan cinta. Itu rencana.

Tenggorokanku terasa tercekat. Aku tidak punya pekerjaan. Tidak ada tabungan.

Dan sekarang, hanya seminggu sebelum mereka bisa mengambil anakku dariku.

Jantungku berdetak kencang saat kulirik jam. Aku harus bertindak. Cepat.

Keesokan paginya, aku pergi ke bank, perutku terasa mual. Aku duduk di seberang seorang wanita berwajah ramah bernama Susan.

Dia tersenyum sopan sambil mengetik di keyboard, memeriksa dataku.

“Aku nggak punya banyak,” kataku padanya.

“Tapi aku butuh pinjaman. Apa saja untuk membantuku bertahan.”

Susan mengangguk.

“Kita lihat dulu apa yang bisa kami lakukan.”

Setelah beberapa klik, dia berhenti sejenak.

“Apakah kamu ingin menggunakan rekening tabungan anakmu sebagai jaminan?”

Alisku terangkat.

“Rekening apa?”

Dia kembali melihat ke layarnya.

“Itu dibuka beberapa tahun lalu. Oleh neneknya. Ibu dari mantan suamimu.”

Aku mencondongkan tubuh ke depan, jantung berdegup kencang.

“Isinya berapa?”

Dia memutar layarnya ke arahku. Angkanya membuatku terpaku. Lebih dari cukup.

Rasa lega menyelimutiku—hangat dan tak terduga.

“Terima kasih,” ucapku, suara bergetar saat air mata menggenang.

“Terima kasih banyak.”

Susan memberiku senyum lembut.

“Kelihatannya ada seseorang yang diam-diam menjaga kalian.”

Aku keluar dari bank dengan langkah yang lebih ringan dari beberapa hari terakhir.

Untuk pertama kalinya, aku punya harapan. Harapan yang nyata.

Hari yang paling kutakuti datang lebih cepat dari yang kuperkirakan.

Rasanya minggu itu berlalu hanya dalam satu tarikan napas.

Pagi itu, aku bangun lebih awal. Aku berpakaian dengan hati-hati, meskipun tanganku gemetar.

Aku ingin terlihat tenang, mantap—meskipun sebenarnya tidak.

Noah duduk di meja, masih mengenakan piyama, kakinya mengayun pelan di bawah kursi.

“Apa dia datang hari ini?” tanyanya pelan.

“Iya, sayang,” jawabku.

“Tapi kita akan baik-baik saja. Ibu janji.”

Dia mengangguk pelan, masih menatap mangkuk serealnya.

Beberapa jam kemudian, terdengar ketukan di pintu.

Aku membukanya dan melihat Daniel berdiri di samping pekerja sosial yang sama, clipboard di tangan.

Senyum sinis Daniel sudah menghiasi wajahnya, seolah ia sedang memasuki permainan yang pasti akan dimenangkannya.

Aku memberi jalan, membiarkan mereka masuk. “Silakan masuk,” ucapku, tenang.

Daniel memandangi apartemen dengan kepura-puraan peduli. “Apa Noah sudah siap?”

Tapi kali ini, aku tidak takut. Aku menyerahkan sebuah map pada pekerja sosial itu.

“Ini dokumen terbaru,” kataku, setegas batu.

“Bukti dana atas nama Noah. Cukup untuk sewa, makanan, pakaian, dan sekolah.”

Pekerja sosial itu membolak-balik dokumen dengan cepat, alisnya terangkat saat membaca.

Senyum Daniel menghilang.

“Dari mana kamu dapat uang itu?” bentaknya marah.

Aku menatap matanya langsung.

“Ibumu yang meninggalkannya untuk Noah. Bukan untuk kamu. Dia pastikan Noah akan terurus—dengan atau tanpa kamu.”

Wajah Daniel berubah marah.

“Dia tidak berhak! Itu warisanku!”

“Bukan,” jawabku, melangkah mendekat dengan suara rendah namun mantap.

“Kamu kehilangan semua hak itu saat kamu pergi. Kamu tidak kembali untuk anakmu. Kamu kembali untuk uangnya.”

Pekerja sosial itu tak berkata apa-apa pada awalnya.

Ia hanya mengangguk pelan dan menulis sesuatu di clipboard-nya.

Tatapannya kini lebih dingin saat menoleh ke Daniel.

Tanpa sepatah kata pun, Daniel berbalik dan pergi.

Pintu tertutup keras di belakangnya, mengguncang kusen pintu. Keheningan menyelimuti ruangan seperti kabut.

Aku menghela napas panjang dan gemetar. Noah mengintip dari lorong lalu berlari ke pelukanku.

Aku memeluknya erat, hatiku terasa penuh dan kuat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa telah menang.

Setelah Daniel pergi, Noah memelukku erat.

“Bu, apa ini artinya semuanya sudah aman?”

Aku memeluknya, merasakan kehangatannya menenangkan hatiku.

“Iya, sayang. Kita aman sekarang.”

Pekerja sosial itu tersenyum hangat.

“Kamu luar biasa kuat, Anna. Noah sangat beruntung punya ibu seperti kamu.”

Minggu-minggu pun berlalu, dan Daniel secara resmi kehilangan hak asuh.

Ia diwajibkan membayar tunjangan anak—akhirnya dipaksa bertanggung jawab.

Hidup kami perlahan kembali stabil. Aku mendapat pekerjaan baru, di mana ada saling percaya dan dihargai.

Suatu malam yang tenang, aku menyelimuti Noah di tempat tidurnya.

Matanya mengantuk, tenang, penuh rasa aman karena tahu dia dicintai.

“Bu,” bisiknya pelan, melawan kantuk, “apa semuanya akan selalu baik-baik saja?”

“Iya, Noah,” bisikku lembut, menyapu rambut dari dahinya.

“Selama kita bersama, kita bisa menghadapi apa pun.”

Dia tersenyum lembut, matanya terpejam dalam rasa percaya yang damai.

Saat aku melihatnya tertidur, aku tahu bahwa perjuangan kami telah membentuk kami.

Masa lalu yang menyakitkan kini menjadi fondasi kekuatan kami.

Dan dalam cahaya lembut lampu tidur Noah, aku akhirnya mengerti betapa dalamnya ikatan kami.

Tak peduli seberapa dahsyat badai datang, bersama-sama kami akan selalu menemukan perairan yang tenang. Bersama, kami tak terhentikan.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article