Saat Aku Tiba di Rumah untuk Paskah, Aku Tak Menemukan Kebahagiaan—Hanya Pengkhianatan dari Kakakku Sendiri

Cerita yang menarik

Kupikir aku akan mengejutkan orang tuaku untuk Paskah dengan bunga dan cokelat—tapi apa yang kutemukan justru mengguncangku sampai ke tulang. Kakakku telah mengambil alih rumah mereka… dan membiarkan mereka tinggal di garasi seperti tamu dalam hidup mereka sendiri.

Jadi… ternyata kakakku mengusir orang tua kami dari rumah mereka sendiri, dan mereka tinggal di garasi. Aku baru tahu karena aku mencoba memberi kejutan saat Paskah.

Aku tinggal sekitar lima jam dari rumah mereka. Aku hampir setiap hari menelepon ibuku. Hanya obrolan ringan. Dia selalu bilang hal yang sama: “Kami baik-baik saja, Nak. Seperti biasa.”

Aku percaya padanya.

Kami tumbuh sebagai keluarga yang dekat. Tidak kaya, tapi bahagia. Ayahku membangun rumah kami dengan tangannya sendiri. Ibuku menjaganya tetap rapi dan hangat. Rasanya seperti rumah tempat waktu melambat. Dinding yang hangat, lantai kayu, aroma kayu manis sepanjang tahun.

Kakakku, Cassandra? Dia bukan tipe “hangat dan nyaman.”

Dia dua tahun lebih tua. Berisik, dramatis, selalu bermasalah. Tapi ke orang asing? Dia seperti sinar matahari. Sangat memesona. Bisa tersenyum sambil menghancurkan hidupmu.

Pokoknya, tahun ini aku memutuskan untuk memberi kejutan pada orang tuaku untuk Paskah. Tanpa peringatan. Aku mengambil beberapa telur cokelat, seikat bunga tulip, dan langsung berangkat.

Aku sangat bersemangat. Aku membayangkan wajah ibuku yang akan bersinar saat melihatku. Mungkin ada musik. Ayahku memanggang sesuatu di halaman belakang. Dekorasi Paskah di teras.

Tapi saat aku sampai di depan rumah… tidak ada apa-apa.

Aku berdiri bingung. Mungkin mereka sedang keluar? Tapi mereka tidak pernah pergi saat Paskah. Aku mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

Aku masih punya kunci lama, jadi aku masuk. Dan aku membeku.

Semua furnitur berbeda. Dingin. Modern. Dinding abu-abu menggantikan kuning hangat. Sofa lama hilang. Diganti dengan sofa kulit putih besar seperti di ruang tunggu dokter gigi.

Foto-foto keluarga hilang juga. Diganti dengan lukisan abstrak hitam-putih. Jam antik milik ibuku? Hilang. Diganti dengan benda logam besar seperti gantungan baju yang saling bertarung.

Aku berdiri di sana, jantung berdegup kencang. Apa aku salah rumah?

Lalu kudengar suaranya. Cassandra.

“Tunggu, kamu nggak bilang kalau adikmu mau datang.”

Lalu seorang pria tertawa. “Apa? Si angsa emas? Dia juga bakal pergi besok pagi.”

Aku mundur dari rumah seperti sedang kebakaran. Aku berjalan ke arah garasi, masih gemetar. Aku nggak tahu apa yang kucari. Tapi lalu kulihat cahaya dari jendela samping. Aku perlahan membuka pintu garasi.

Mereka ada di sana.

Ayahku duduk di bangku, memperbaiki engsel lemari tua. Ibuku duduk di kursi lipat, mengenakan jaket musim dingin di dalam ruangan. Ada ranjang lipat di sudut. Kompor camping kecil. Satu meja, dua kursi. Itu saja.

Aku tak bisa bicara. Hanya menatap. Ibuku menoleh dan melihatku.

“Oh,” katanya pelan. “Nak.”

Aku bilang, “Bu? Apa ini?”

Dia menunduk. “Sementara saja.”

Ayahku bahkan tak melihatku. “Ibumu kedinginan. Aku bilang dia pakai sarung tangan.”

“Kenapa kalian di sini?” suaraku bergetar. “Apa yang terjadi?”

Mereka saling menatap. Lalu ibuku berkata, “Nggak apa-apa. Cassandra dan Nathan cuma butuh ruang.”

“Di dalam rumah?” tanyaku.

“Mereka sedang merenovasi,” bisik ibuku. “Cuma sementara.”

Aku berdiri di sana, tertegun. Sementara. Aku tidak menangis. Tidak marah.

Aku hanya menatap ibuku dan berkata pelan, “Kemas barangmu. Aku kembali satu jam lagi.”

Dia berkedip. “Apa?”

“Kamu dengar aku.”

Ayahku meletakkan obengnya. “Kita mau ke mana?”

“Kalian nggak akan tinggal di garasi ini satu malam lagi.”

Aku masuk mobil, masih gemetar. Tanganku mencengkeram setir sepanjang perjalanan. Sepuluh menit kemudian, aku tiba di hotel terbaik di kota. Yang punya perapian di lobi dan tanaman asli yang nggak mati.

“Satu kamar, dua tempat tidur, untuk seminggu penuh,” kataku di meja resepsionis.

Kembali ke garasi, aku masuk sambil membawa kartu kamar dan senyuman.

“Kita pergi sekarang,” kataku.

Ibu menggeleng. “Sayang, kita nggak mau bikin keributan.”

“Biar aku yang buatkan,” kataku. “Ayo.”

Mereka tak membantah setelah itu.

Begitu mereka berbaring di tempat tidur bersih dengan pemanas, televisi kabel, dan bantal sungguhan, aku kembali ke kamar hotelku sendiri — dan membuka laptop.

Aku manajer kontrak. Hidupku dipenuhi dokumen dan cetakan kecil. Kertas kerja adalah spesialisasiku. Cassandra mungkin suka main kotor, tapi aku main dengan aturan. Dan tebak apa? Aturannya berpihak padaku.

Pertama, aku menggali arsip digital keluarga kami—orang tuaku menyimpan cadangannya di flashdisk tua. Keesokan harinya, aku dan ibuku kembali ke garasi dan membuka lemari arsip yang terkunci. Mata ibu membelalak.

“Gak apa-apa,” kataku. “Percaya aja sama aku.”

Di dalamnya ada semua yang kubutuhkan—dokumen properti, formulir pajak, surat asuransi. Dan akta rumah.

Nama Cassandra? Sama sekali gak ada. Hanya nama ayah dan ibu. Artinya Cassandra? Secara hukum. Hanya. Seorang. Tamu. Dan tamu bisa diusir.

Tapi sebelum aku menjatuhkan palu, aku masih punya satu kartu lagi. Aku mengirim pesan ke Cassandra.

“Hey. Mau makan siang besok? Cuma kita berdua?” “Tunggu. Serius? Kamu gak marah?” tanya Cassandra, terkejut.

“Enggak. Aku udah mikir. Kita harus bicara,” jawabku samar.

Dia muncul di kafe dengan trench coat krem dan lipstik berlebihan, bertingkah seolah kami sahabat lagi. Pelayan bahkan belum sempat memberikan menu sebelum dia mulai bicara.

“Aku senang kamu menghubungi aku. Aku tahu situasinya tegang, tapi akhirnya kita satu pemikiran.”

Aku tersenyum. “Aku juga rasa begitu.”

Kami memesan. Dia memesan favoritnya—lavender latte, roti panggang alpukat. Aku membiarkannya bicara. Tentang rumah. Tentang “renovasi.” Tentang betapa sulitnya menjadi “satu-satunya yang peduli.”

Aku menunggu sampai makanannya setengah habis sebelum berkata, “Kamu tahu… mungkin kamu benar. Mungkin Mama dan Papa memang butuh bantuan. Butuh struktur.”

Matanya berbinar. “Persis! Itu yang selama ini coba aku sampaikan!”

“Aku bahkan udah bicara dengan beberapa agen properti,” kataku sambil mengeluarkan ponsel. “Kalau kita jual rumahnya, kita bisa pakai uangnya buat perawatan jangka panjang mereka. Mungkin juga bantu kamu dan Nathan dapat tempat sendiri.”

Dia mendekat. “Aku tahu kamu akan berubah pikiran.”

Aku menatap matanya dan berkata, “Omong-omong—semua ini terekam.”

Lalu aku berdiri, meletakkan uang dua puluh di meja, dan pergi tanpa menoleh lagi.

Tiga hari kemudian, aku kembali dengan surat pengusiran yang dicetak—dan pengawalan polisi.

Aku tidak bilang ke orang tuaku apa yang sedang kulakukan. Aku tak mau membuat mereka cemas atau merasa bersalah. Mereka masih tinggal di hotel, menonton film lama dan minum teh seolah sedang liburan tenang. Aku ingin menyelesaikan ini tanpa membebani mereka lagi.

Aku berhenti di depan rumah dengan pengawalan polisi dan berjalan langsung ke pintu depan. Nathan membukanya, mengenakan jubah ayahku dan membawa mug seolah dialah pemilik rumah.

Dia menyeringai. “Tersesat, manis?”

Aku mengulurkan surat. “Enggak. Tapi kamu sebentar lagi iya.”

Dia melihat amplop itu, lalu menatapku bingung. Cassandra muncul di belakangnya, senyumannya menghilang begitu melihat apa yang kubawa.

“Kamu nggak serius, kan?” katanya.

“Oh, aku sangat serius.”

Dia mencoba mengubah nada seperti biasanya—berlagak masuk akal, melunak. “Lihat, kami cuma butuh waktu sedikit lagi. Rumah ini perlu diperbaiki. Mama dan Papa bilang nggak masalah—”

“Kamu gak ada di akta rumah,” potongku. “Kamu gak terdaftar. Kamu cuma tamu. Dan tamu gak bisa ambil alih.”

Nathan tertawa, meremehkan. “Kamu gak bisa usir keluarga sendiri.”

Saat itulah petugas polisi maju dan berkata, “Sebenarnya, Anda sudah dilayani. Saya sarankan baca dokumennya.”

Mereka berdua langsung diam.

Wajah Cassandra langsung jatuh saat kenyataan menyusul. Matanya mondar-mandir antara aku dan petugas, seolah mencoba memastikan apakah ini semua cuma lelucon.

Seminggu kemudian, orang tuaku kembali ke tempat yang seharusnya—di dalam rumah mereka.

Aku masih ingat saat Mama masuk ke ruang tamu dan melihat vas bunga favoritnya kembali di meja. Dia menyentuhnya perlahan dan berkata, “Kupikir ini sudah hilang.”

Aku bilang aku menyimpannya di loteng. Aku cuma punya firasat kita akan membutuhkannya lagi suatu hari nanti.

Sore itu, Papa menarikku ke samping dan memberiku sebuah map. Di dalamnya ada akta rumah.

“Kalau sesuatu terjadi pada kami,” katanya, “ini milikmu. Kamu yang kembali.”

Aku memeluknya, dan untuk beberapa saat kami tidak mengatakan apa-apa. Kami tidak perlu.

Lalu Cassandra?

Sekarang dia tidur berpindah-pindah di sofa teman-temannya, dengan siapa pun yang masih mau bicara padanya. Katanya, kami menghianatinya. Bahwa kami “membelakanginya.” Bahwa kami “mencuri masa depannya.”

Nathan? Dia pergi dua hari setelah surat pengusiran diserahkan. Tak pernah terdengar lagi kabarnya.

Sementara itu, orang tuaku aman, hangat, dan makan makanan sungguhan di rumah yang akhirnya benar-benar menjadi milik mereka lagi. Tak ada lagi kompor camping. Tak ada lagi garasi.

Paskah itu ditutup dengan steak panggang, bunga tulip di atas meja, dan tawa yang bergema di seluruh rumah—seperti dulu.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, segalanya kembali tepat di tempatnya.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article