— Hanya gubuk ini yang bisa kamu dapatkan dengan uangmu! — kata-kata itu terus terngiang di kepala Sari saat ia berjalan di jalan tanah. — Apa yang kau harapkan, Sari? Hidup bahagia? Nah, sekarang kau mendapatkannya! Terimalah nasibmu!
Ia menjatuhkan koper beratnya dan duduk di atas batang kayu tua. Semua dulu tampak berjalan dengan baik… Atau apakah itu hanya ilusi? Dua puluh tahun pernikahan dengan Bayu berakhir dalam satu pagi, ketika, sepulang dari shift malam, ia menemukan suaminya bersama wanita lain — dan barang-barangnya, sudah tersusun rapi di depan pintu.
— Bayu, apa maksudnya ini?
Sari begitu terkejut hingga bahkan tak mampu bereaksi terhadap kehadiran gadis muda berbaju tidur yang berjalan santai di dalam rumah.
— Artinya aku tak ingin sembunyi lagi. Aku ingin bersama orang yang kucintai, bukan denganmu.
— Bayu, kau dengar dirimu sendiri? Kita sudah dua puluh tahun bersama!
— Dua puluh tahun penderitaan. Dan kau tahu betul tak pernah ada cinta sejati di antara kita. Lagi pula, kau yang memaksaku menikah!
— Apa?! Apa maksudmu? Aku pikir kau berbeda… Tapi kau sama saja seperti yang lain!
Sari ingin mengatakan bahwa, di awal, semua pria tampak sempurna, tapi Bayu tak memberinya kesempatan.
— Cukup. Aku tak mau dengar dramamu. Kemasi barang-barangmu dan pergi. Aku sudah mengajukan cerai.
— Tapi… Aku harus pergi ke mana? — gumam Sari, bingung.
Bayu tertawa, dan wanita di sisinya bersandar manja di pundaknya, ikut tertawa.
— Ini kuncinya. Tempat itu cocok untukmu. Kau tak pantas mendapat lebih dari itu.
— Bayu, tapi…
Tanpa memberi waktu untuk protes, Bayu mendorongnya keluar dan mengunci pintu. Sari mendengar suara pintu tetangga berderit dan buru-buru menuruni tangga. Rasa malu membakar wajahnya. Kata-kata dari seorang tetangga terngiang di kepalanya: “Dia akan menangis juga karena Bayu.”
Padahal, selama ini ia selalu membela suaminya! Ia menciptakan gambaran sempurna tentang Bayu, meyakini bahwa begitulah seharusnya kehidupan pernikahan—seperti dalam novel-novel yang ia gemari.
Ibunya selalu menegurnya:
— Sari, kau terlalu percaya pada cerita-cerita bodoh itu dan bermimpi yang mustahil! Pangeran tampan itu tak ada. Mereka sudah punya pasangan sejak kecil! Daripada bermimpi, lebih baik beri makan ayam di belakang rumah!
Sari mengernyitkan hidungnya dan berharap suatu hari ia bisa meninggalkan desa. Hidup di desa hanya berisi kerja keras: mengangkut air, memotong kayu, mencuci pakaian dengan tangan.
Saat akhirnya ia pergi ke kota, ia mengira takdirnya mulai berubah. Tapi ternyata tidak mudah. Yang paling sulit adalah menghadapi Rahmat, pemuda yang mencintainya dan ingin menikahinya.
— Aku tak mau hidup seperti ini. Aku tak mau, titik!
— Menurutmu, hidup di sini begitu buruk? Lalu, aku ini apa bagimu?
— Aku selalu bermimpi menikah dengan petani… — ujar Sari dengan nada sarkastik.
Rahmat menghela napas.
— Kadang aku merasa kau bukan anak dari keluargamu. Rasanya mustahil aku dan orang tuaku membesarkan seorang anak seperti ini…
Sari tertawa.
— Jangan khawatir, aku pun tak peduli jika kalian tak menganggapku keluarga lagi!
Ia pergi. Ibunya menangis, tapi Sari tak menoleh ke belakang. Di halte bus, Rahmat muncul untuk terakhir kalinya.
— Sari… Kau benar-benar akan pergi?
Rahmat adalah pria baik, dan Sari sebenarnya menyukainya. Tapi ia tak melihat masa depan bersamanya.
Bus tiba. Sari naik dan, sebelum bus berangkat, ia berteriak impulsif:
— Pergilah dan temukan gadis lain!
Dan ia pun pergi, yakin bahwa ia sedang menuju kebahagiaan.
Di pabrik tempatnya bekerja, Sari bertemu Bayu. Bayu adalah kepala bagian, dan tidak mudah mendekatinya, tetapi setelah empat bulan, mereka menikah. Sari mendedikasikan seluruh hidupnya untuk rumah tangganya: mendekorasi rumah, memasak hidangan lezat, bekerja malam untuk memenuhi kebutuhan Bayu. Suaminya menyukai perannya sebagai “raja rumah tangga”: jas mahal, kemeja rapi, sarapan yang selalu siap. Dan Sari sering membanggakan dirinya di depan teman-temannya:
— Suamiku… benar-benar seorang pria terhormat!
Ia tak pernah kembali ke desa. Awalnya karena keras kepala, lalu karena malu. Dan seiring waktu, rasanya menjadi hal yang mustahil. Bagaimana ia bisa menghadapi keluarganya sekarang? Apakah orang tuanya masih hidup?
Sari berdiri. Sopir bus tadi berkata bahwa masih ada satu jam perjalanan menuju “rumah” yang diberikan Bayu padanya. Tapi, begitu tiba, ia bisa berbaring dan tak perlu bangun lagi. Hidupnya telah hancur. Apakah semua ini hanya mimpi bodoh belaka?
— Tolong!
Sari tersentak kaget. Ia menoleh dan melihat seorang gadis kecil berlari ke arahnya, dikejar oleh sekelompok anak laki-laki dan dua wanita yang berteriak marah.
— Ada apa ini?! — seru Sari, mengambil sebatang kayu.
Anak-anak laki-laki itu kabur, tapi kedua wanita itu tetap mendekat.
— Siapa kau? Jangan ikut campur! Dia harus diberi pelajaran!
— Apa yang dia lakukan?
— Dia mencuri sepotong keju dariku!
— Dan dari aku, sepotong daging asap!
Sari menatap mereka dengan jijik.
— Kalian menolak memberi makanan kepada anak kecil?!
Ia merogoh dompetnya, mengambil beberapa lembar uang terakhirnya, dan melemparkannya ke tanah.
— Ambillah uang kalian. Biarkan dia pergi.
Wanita-wanita itu menggerutu, tetapi akhirnya pergi. Gadis kecil itu menghela napas dan tersenyum.
— Terima kasih! Kau tak takut?
— Aku hanya lelah. Tapi… kenapa kau mencuri?
Gadis itu mengangkat bahu.
— Karena kami orang Baduy. Mencuri itu pekerjaan kami.
Sari ingin tertawa.
— Dan kau mengatakannya dengan begitu santai?
Gadis itu mengeluarkan sepotong roti, daging asap, sedikit daun bawang, dan sebongkah keju yang disembunyikan di bawah roknya.
— Kau lapar? Ayo makan. Kau masih punya perjalanan panjang.
Sari mengangkat alis.
— Bagaimana kau tahu?
— Aku tahu segalanya. Pertama, karena aku orang Baduy. Kedua, karena keluargaku keturunan peramal.
Sari tertawa.
— Tidak ada yang namanya peramal!
— Aku bisa membaca telapak tanganmu. Gratis.
Sari, iseng, mengulurkan tangannya. Gadis itu menatapnya dengan serius, lalu berbisik:
— Jangan menyesali masa lalu. Apa yang hilang, memang bukan milikmu. Itu semua adalah hukuman atas kesalahanmu. Tapi sekarang, hidup memberimu kesempatan baru.
Sari mengerutkan kening.
— Aku tak mengerti.
Gadis itu tersenyum.
— Tak perlu. Saat waktunya tiba, kau akan mengerti.
Dan ia menghilang di jalan.
Rumah yang ditemukan Sari hanyalah gubuk reyot. Dengan lelah, ia jatuh di kasur dan menangis. Tapi tangisnya terhenti ketika terdengar suara pria:
— Ada orang di sana?
Ia membuka pintu dengan cemas.
— Siapa itu?
Pria itu menoleh. Bertubuh tegap, berjanggut tipis. Sari menahan napas.
— Rahmat?!
Pria itu tersenyum.
— Lama tak bertemu, Sari…
Beberapa jam kemudian, mereka duduk bersama di meja. Rahmat menggenggam tangannya.
— Mungkin sekarang kau bisa memperbaiki kesalahanmu.
— Apa orang tuaku…?
— Mereka masih hidup. Dan mereka pasti akan memaafkanmu.
Keesokan harinya, Sari kembali ke desa. Ibunya berlari dan memeluknya tanpa berkata apa-apa. Dan, setahun kemudian, Sari menggendong bayi kecil bernama Yusuf dalam pelukannya, sementara Rahmat tersenyum di sampingnya.