Aku tak pernah berpikir akan melihatnya lagi. Tidak setelah tiga puluh tahun. Tidak setelah malam itu, ketika dia menggendongku melewati badai salju, menyelamatkan hidupku sebelum menghilang dalam kegelapan.
Tapi di sana dia berada.
Duduk di stasiun kereta bawah tanah, tangannya terulur meminta recehan. Wajahnya tersembunyi di balik janggut abu-abu yang lebat, pakaiannya lusuh dan compang-camping.
Pria yang pernah menyelamatkanku kini adalah orang yang membutuhkan pertolongan.
Sesaat, aku hanya berdiri di sana, membeku di tempat.
Kenangan membanjiri pikiranku—angin yang menusuk, jemariku yang kecil dan kaku karena dingin, dan kehangatan tangannya saat ia membawaku ke tempat yang aman.
Itu dia. Aku yakin.
Aku melangkah lebih dekat, jantungku berdegup kencang. Lalu aku melihatnya—tato jangkar kecil yang pudar di lengannya.
Aku menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
“Benarkah ini kau, Mark?”
Dia menatap ke atas, mata birunya yang lelah menelusuri wajahku. Aku tahu dia tidak akan mengenaliku. Terakhir kali dia melihatku, aku hanyalah seorang gadis kecil yang ketakutan.
Dia ragu sejenak. “Apakah aku mengenalmu?”
Aku mengangguk. “Kau menyelamatkanku. Tiga puluh tahun yang lalu. Aku tersesat di salju. Kau membawaku ke tempat yang aman.”
Matanya melebar. Sesaat, dia hanya menatapku, seolah mencoba mengingat. Lalu perlahan, tawa kecil keluar dari bibirnya.
“Gadis kecil… di tengah badai?”
“Ya,” kataku lirih.
Dia menggelengkan kepala, seolah tak percaya. “Tak pernah terpikir aku akan melihatmu lagi.”
Aku duduk di sebelahnya di bangku dingin stasiun kereta bawah tanah. “Aku tak pernah lupa apa yang kau lakukan untukku, Mark.”
Dia mengangkat bahu. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan siapa pun.”
Tapi kami berdua tahu itu tidak benar. Tidak semua orang akan berhenti untuk menolong seorang gadis kecil yang tersesat di tengah badai. Tidak semua orang akan menghabiskan uang terakhir mereka untuk memastikan dia selamat.
Dan kini, di sinilah dia, sendirian dan tunawisma. Itu tidak adil.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Ikutlah denganku. Biar kubelikan kau makanan.”
Mark ragu, rasa gengsinya membuatnya enggan menerima. Tapi aku tidak akan menerima penolakan.
Kami pergi ke sebuah restoran pizza kecil. Mark makan seolah dia belum pernah menikmati makanan layak selama bertahun-tahun.
Aku memperhatikannya, menahan air mata. “Tak seorang pun seharusnya hidup seperti ini, Mark.”
Dia tertawa hambar. “Hidup itu aneh. Ada yang bisa bangkit lagi, ada yang tidak.”
Aku menggeleng. “Aku ingin membantumu.”
Matanya melembut. “Kenapa? Kau tak berutang apa pun padaku, Nak.”
“Aku berutang padamu.” Aku menatapnya dalam-dalam. “Kau menyelamatkan hidupku. Biarkan aku melakukan sesuatu untukmu sekarang.”
Setelah makan malam, aku membawanya ke toko pakaian. Dia menolak ketika aku memilihkan mantel hangat, tapi aku memaksanya menerima.
“Ini hal paling kecil yang bisa kulakukan untukmu.”
Akhirnya dia menerimanya, jemarinya menyentuh kain hangat itu, seolah dia sudah lama lupa bagaimana rasanya kehangatan.
Tapi aku belum selesai membantunya.
Aku membawanya ke motel kecil di pinggiran kota dan menyewa kamar untuknya.
“Untuk sementara saja,” kataku meyakinkannya saat dia ragu. “Kau pantas mendapatkan tempat tidur yang hangat, Mark.”
Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit kupahami. Syukur? Tidak percaya?
“Kau tak perlu melakukan ini,” katanya.
Aku tersenyum. “Aku tahu. Tapi aku ingin melakukannya.”
Keesokan paginya, aku bertemu Mark di luar motel. Dia tampak seperti pria yang berbeda—bersih, rambutnya rapi, dan pakaiannya jauh lebih layak.
Tapi ketika aku mengatakan ingin membantunya bangkit kembali, senyumnya perlahan memudar.
“Aku menghargainya, Nak. Tapi… aku tak punya banyak waktu lagi.”
Aku mengernyit. “Maksudmu?”
Dia menghela napas panjang. “Dokter bilang jantungku melemah. Tak banyak yang bisa mereka lakukan.”
Hatiku mencelos. “Tidak… pasti ada sesuatu yang bisa—”
Dia menggeleng. “Aku sudah berdamai dengan itu.”
Keheningan menyelimuti kami. Lalu dia kembali bicara, suaranya lebih pelan.
“Ada satu hal yang ingin kulakukan sebelum pergi. Aku ingin melihat lautan. Untuk terakhir kalinya.”
Aku mengangguk, menelan gumpalan di tenggorokanku. “Baiklah. Aku akan membawamu ke sana. Kita pergi besok.”
Keesokan paginya, tepat sebelum kami berangkat, ponselku berdering.
Itu dari rumah sakit.
“Sophia, kami butuh kau sekarang. Ada seorang gadis kecil—pendarahan internal parah. Tak ada dokter bedah lain yang bisa menangani.”
Aku menatap Mark. “Aku… Aku harus pergi.”
Dia mengangguk, seakan sudah tahu jawabannya. “Tentu saja. Pergilah, selamatkan gadis itu. Itu takdirmu.”
“Aku minta maaf,” bisikku. “Tapi kita tetap akan pergi, aku janji.”
Dia tersenyum. “Aku tahu, Nak.”
Operasi itu berlangsung selama berjam-jam, tapi gadis kecil itu selamat. Aku seharusnya merasa lega. Tapi yang ada di pikiranku hanya Mark.
Begitu selesai, aku langsung berkendara menuju motel. Tanganku gemetar saat mengetuk pintunya.
Tak ada jawaban.
Aku mengetuk lagi.
Masih tak ada jawaban.
Perasaan cemas melanda saat aku meminta petugas motel untuk membuka pintunya.
Saat pintu terbuka, hatiku hancur.
Mark terbaring di tempat tidur, matanya terpejam, wajahnya tampak damai.
Dia telah pergi.
Aku berdiri di sana, tak bisa bergerak.
Aku telah berjanji akan membawanya ke lautan.
Tapi aku terlambat.
Air mata mengalir di pipiku saat aku berbisik, “Aku sangat menyesal telah terlambat…”
Aku tak pernah bisa membawanya ke laut.
Tapi aku memastikan dia dimakamkan di tepi pantai, di tempat ombak selalu bisa menjangkaunya.
Dia telah pergi, tapi kebaikannya tetap hidup.
Dalam setiap pasien yang kuselamatkan, setiap orang asing yang kubantu, dan setiap kehidupan yang kusentuh, aku membawa kebaikan Mark bersamaku—sebagaimana dulu dia membawaku melewati badai salju.