Suamiku Menyelinap Keluar Dari Kamar Hotel Kami Setiap Malam dan Membohongi Saya — Suatu Malam, Saya Mengikutinya Secara Diam-Diam

Cerita yang menarik

Pada suatu malam yang hangat dan tenang, aku terbangun dengan terkejut. Jantungku berdebar-debar saat aku merasakan ketidakhadiran David di sampingku. Aku memejamkan mata dalam kegelapan, mencoba memahami suara lembut yang aku dengar dari seberang ruangan. Suamiku, yang aku percayai dan cintai, perlahan-lahan keluar dari tempat tidur, gerakannya hati-hati dan sengaja. Suara pintu yang terbuka perlahan terdengar di ruangan saat dia keluar.

Ke mana dia pergi?

Aku membeku, napasku terasa dangkal saat aku melihat pintu tertutup perlahan di belakangnya. Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku bahwa aku hanya lelah, terlalu banyak berpikir. Tapi aku tak bisa menepis rasa tidak nyaman yang menggerogoti perutku. Sesuatu yang tidak beres.

Keesokan paginya, aku memperhatikannya dengan cermat saat kami berpakaian. Dia bersiul dengan lembut, hampir terlalu ceria, terlalu normal.

“Bagaimana tidurmu?” Tanyaku dengan santai, suaraku ringan meskipun hatiku penuh pertanyaan.

David tersenyum, senyum yang terlihat sedikit terlalu lebar. “Tidur dengan nyenyak! Tidak terbangun sama sekali.”

Aku mempelajari wajahnya, mencari tanda-tanda rasa bersalah, tapi tidak ada. Dia masih sama seperti suamiku yang telah ku nikahi, tanpa ada petunjuk tentang rahasia yang dia sembunyikan.

Aku mengangguk, meskipun pikiranku sedang berpacu. “Iya, aku juga.”

Malam berikutnya, aku tidak tidur. Aku menunggu, panca inderaku terjaga, sementara aku terbaring tak bergerak di tempat tidur. Kemudian, seperti malam sebelumnya, aku mendengarnya. Suara kain yang bergesekan. Suara klik teleponnya. Suara pintu yang perlahan terbuka.

Aku menahan napas, berpura-pura tidur. Tapi kali ini, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Aku merayap keluar dari tempat tidur, jantungku berdegup kencang di dadaku. Lorongnya sunyi, cahaya redup memanjang menciptakan bayangan panjang. Aku merayap menuju lift, berusaha langkahku tak terdengar. Di ujung lorong, aku melihatnya.

Namun, dia tidak sendirian.

Seorang wanita tinggi, berambut pirang, berdiri di sampingnya, mengenakan seragam hotel. Si resepsionis. Mereka berbicara dengan suara pelan, tertawa pelan. Perutku terasa mual saat aku melangkah maju, hampir tidak bisa mempercayai apa yang aku lihat.

Kemudian, David melakukan sesuatu yang menghancurkan dunianya—dia berbalik dan melihatku. Untuk sesaat, mata kami bertemu. Aku bisa melihat tatapan tenang, hampir terhibur di matanya. Dia melambaikan tangan.

Santai. Tanpa rasa bersalah.

Aku tidak bergerak. Aku tidak bisa. Tubuhku membeku, pikiranku berjuang untuk memproses apa yang aku saksikan. Wanita itu masuk ke dalam mobilnya, dan David mengikuti.

Mesin mobil menyala, dan dengan suara gemerisik ban di kerikil, mereka menghilang ke dalam malam.

Aku tidak ingat bagaimana aku kembali ke kamar, tapi ketika akhirnya kembali, aku duduk di tepi tempat tidur. Tangan-tanganku gemetar saat aku meraih teleponku. Aku meneleponnya. Lagi. Dan lagi.

Kotak suara.

Baru keesokan paginya aku memiliki keberanian untuk menghadapinya. Aku berjalan dengan cepat ke meja resepsionis, langkahku tegap meski perutku bergejolak dengan kecemasan. Resepsionis hari ini berbeda—wanita muda, dengan senyum ramah.

“Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan ceria.

“Aku perlu berbicara dengan wanita yang tadi malam ada di sini. Yang pirang,” kataku, suaraku nyaris berbisik.

Resepsionis itu terdiam sejenak, senyumnya sedikit memudar. “Maaf, dia tidak bekerja hari ini.”

Aku menggertakkan rahang, memaksakan diri untuk tetap tenang. “Baiklah, kalau begitu. Bagaimana dengan suamiku? David. Dia tidak kembali tadi malam.”

Senyum wanita itu hilang sama sekali. Ia mengetik cepat di komputer, jarinya bergerak gesit di atas tombol, lalu menatapku.

“Dia check-out pagi tadi,” katanya, suaranya berubah.

Gelombang dingin menyapu tubuhku. “Apa?” tanyaku, hampir tidak bisa bernapas.

“Dia sudah check-out resmi. Namanya tidak lagi ada di daftar reservasi kamar,” ia mengulang, pandangannya kini jauh, sopan—tapi jauh.

Aku berdiri di sana, tak bisa memproses kata-kata yang baru saja dia ucapkan. David telah pergi. Tanpa kata. Tanpa jejak. Aku ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Aku berbalik, kakiku lemas saat berjalan kembali ke kamar.

Tempat tidurnya masih berantakan. Koper miliknya hilang. Sikat gigi, pakaian—semua jejaknya hilang.

Aku duduk di tepi tempat tidur, mati rasa. Bagaimana bisa dia melakukan ini? Bagaimana bisa dia begitu saja menghilang?

Tangan-tanganku gemetar saat aku meneleponnya lagi. Kotak suara. Lagi.

Jam-jam berlalu, tapi David tidak pernah kembali. Tidak ada alasan. Tidak ada penjelasan. Tidak ada.

Bulan-bulan berlalu.

Aku kembali ke rumah ibu di kampung halamanku, membawa beban pengkhianatan yang berat. Ibuku menyambutku dengan pelukan hangat, berusaha menghiburku, tapi tak ada yang bisa menghapus rasa sakit yang kurasakan. Aku tak bisa menghapus gambaran tentang dirinya yang meninggalkanku.

Kemudian, suatu sore, semuanya berubah.

“Lihat ini,” kata ibuku, sambil menunjukkan ponselnya padaku. “Tempat itu tampak familiar, ya?”

Aku melihat layar ponselnya, melihat iklan untuk hotel yang sama. Dan di sana dia—si resepsionis. Wanita yang bersama David malam itu.

Perutku terasa mual saat ibuku menatap foto itu. “Itu pacar lama David,” bisiknya.

Dunia rasanya runtuh di sekitarku. Hotel itu, perubahan rencana, kegembiraannya yang tiba-tiba—semuanya kini masuk akal. Dia telah merencanakannya. Merencanakan semuanya sejak awal.

Aku meletakkan ponselku, tangan-tanganku gemetar. Kesedihanku, rasa sakitku, semua yang telah aku alami selama bulan-bulan sejak dia pergi—dia tidak pernah mencintaiku. Dia pergi tanpa sedikit pun rasa penyesalan.

Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai sembuh. Perlahan, aku membangun kembali hidupku. Aku fokus pada diriku sendiri, menemukan kembali apa yang membuatku bahagia.

Dan kemudian, suatu hari, aku bertemu Ryan. Dia adalah segala yang tidak dimiliki David—baik, sabar, dan stabil. Dia mencintaiku dengan cara yang selalu aku pantaskan. Kami menikah pada suatu sore yang tenang di musim semi.

Setahun kemudian, aku memegang bayi kembar kami di pelukanku, tangan-tangan kecil mereka menggenggam jari-jariku. Akhirnya, aku menemukan kebahagiaan yang selama ini kuimpikan.

Saat aku melihat Ryan bermain dengan anak-anak kami di pantai, suara tawa mereka terdengar di udara. Laut yang sama yang dulu membawaku rasa sakit kini membawa kedamaian. David kini hanyalah kenangan, dan aku akhirnya bebas.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article