Dunia Piper sudah mulai retak ketika pertama kali ia merasakan perubahan udara pada malam itu. Suaminya, Stephen, sedang melakukan perjalanan langka dua hari untuk mengunjungi ibunya, meninggalkannya sendirian bersama putri mereka yang berusia enam tahun, Layla. Rumah itu sunyi, kecuali untuk dengungan rendah televisi dan sesekali suara gesekan jari-jari kecil Layla di kain baju piyamanya.
Piper melirik jam. Makan malam sudah selesai, piring-piring telah dibersihkan. Itu adalah malam yang familiar dan damai—hanya berdua dengan Layla.
“Yuk, main petak umpet sebelum tidur?” tanya Piper, sambil mendorong bahu putrinya.
Layla ragu sejenak, jemarinya memutar ujung bajunya dengan cemas. “Aku rasa nggak boleh, Momma,” gumamnya.
Piper mengangkat alis. “Kenapa nggak? Apa karena kamu mau makan es krim dan nonton kartun lagi?”
Mata Layla berkedip dengan sesuatu yang tak bisa Piper jelaskan. “Bukan itu,” jawab Layla pelan, pandangannya beralih ke pintu garasi, bahunya yang kecil menegang.
Tiba-tiba sebuah simpul terbentuk di perut Piper. “Sayang, kenapa kamu nggak mau main? Ada yang salah?”
Layla menggenggam bantal dengan erat, matanya tertunduk. “Waktu aku main petak umpet sama Daddy… dia marah. Aku nggak suka petak umpet lagi,” katanya.
Piper terdiam. “Stephen marah sama kamu? Daddy aku?” Usahanya untuk menjaga suaranya tetap ringan semakin terasa sulit. “Itu nggak seperti dia. Apa yang terjadi?”
Layla menggigit bibirnya, enggan untuk berbicara, tapi Piper terus menekan dengan lembut. “Yuk, kasih tahu Momma.”
“Aku bersembunyi di garasi,” Layla mengaku. “Waktu kita main, dan dia nggak bisa nemuin aku. Aku cuma diem di sana. Tapi terus aku bosen dan lihat-lihat di salah satu kotak. Waktu Daddy nemuin aku, dia… dia ngambil kotaknya dengan cepat.” Layla mengernyitkan dahi. “Dia bilang kalau Momma nemuin itu, kita bakal dalam masalah besar, dan kita nggak mau Momma lihat isinya.” Suaranya berbisik. “Aku kira itu kejutan, tapi dia teriak dan bilang nggak boleh lagi bersembunyi di garasi.”
Piper terdiam, jantungnya berdebar kencang. Sebuah kotak? Kotak apa? Pikiran Piper berlarian, namun dia memaksakan senyum dan mencium kepala putrinya. “Kamu bisa sembunyi di mana saja, sayang, asal aman, paham?”
Layla mengangguk, wajahnya cerah, tapi pikiran Piper berada di tempat lain. Saat Layla terus tertawa dan bermain, Piper tak bisa mengabaikan bayangan kotak itu di garasi. Detail kecil itu telah menyalakan kecurigaan yang tak bisa ia abaikan.
Malam itu, jauh setelah Layla terlelap, Piper berdiri di pintu garasi, keheningan rumah menekan di sekelilingnya. Nafasnya terengah-engah saat dia meraih gagang pintu, telapak tangannya terasa lembap. Garasi itu sunyi dan dingin, dengan bau debu dan kayu tua yang tercium samar.
Dia tak tahu mengapa dirinya begitu terdorong untuk memeriksa, tapi instingnya terus mengganggu. Jari-jari Piper menyentuh kotak-kotak yang terletak di sepanjang dinding—dekorasi liburan lama, pakaian bayi Layla, barang-barang yang terlupakan. Tapi kemudian dia melihatnya: sebuah kotak yang tidak seperti yang lainnya. Selotipnya masih baru, kartonnya halus.
Tangannya gemetar saat menarik kotak itu, membuka tutupnya dengan perasaan cemas yang semakin kuat.
Di dalamnya, terdapat boneka-boneka tua, sebuah baju berwarna biru, dan sepatu bayi kecil—tapi ada sesuatu yang tersembunyi di bagian bawah. Sebuah folder manila.
Perut Piper mual saat dia membukanya. Tanggal di kertas itu membuat jantungnya berhenti berdetak. Sebuah tes paternitas. Dia hampir tidak bisa bernapas saat matanya menyusuri hasil tes itu.
Stephen: Probabilitas ayah 0%.
Dunia Piper terbalik. Layla. Stephen bukan ayahnya. Ethan—rekan kerjanya, kesalahan yang dilakukannya—dialah ayahnya.
Kenangan itu menghantam Piper datang bertubi-tubi. Malam-malam panjang di kantor. Rasa kesepian. Kebaikan Ethan saat Stephen menjauh. Momen tunggal itu, sebuah kesalahan yang telah lama dia kubur dalam-dalam, kini muncul kembali. Dia begitu yakin bahwa bayi itu anak Stephen, toh mereka sudah berusaha memiliki anak, bukan?
Namun tes itu, kebenaran yang tak terbantahkan, kini ada di tangannya.
Stephen sudah tahu selama bertahun-tahun. Piper terhuyung mundur, menjatuhkan kotak itu kembali ke sudutnya. Beban dari apa yang telah dia lakukan—pengkhianatan, rahasia yang telah dia simpan—terasa sangat berat.
Ketika Stephen kembali dua hari kemudian, semuanya terasa berbeda. Dia masuk ke dalam rumah, Layla langsung melompat ke pelukannya.
“Kangen nggak, peanut?” katanya dengan tawa, memeluknya erat.
Piper melihat mereka, rasa sakit kosong di dadanya. Cinta Stephen pada Layla tak tergoyahkan, seperti yang selalu dia rasakan. Itu adalah cinta seorang ayah. Dia telah membesarkan Layla seolah-olah Layla adalah anak kandungnya, dan meskipun selama lima tahun ini, dia diam-diam menyimpan pengetahuan bahwa Layla bukanlah anaknya.
Piper menelan dengan susah payah, memaksakan dirinya untuk tetap tenang saat Stephen menatapnya. Sebuah kilatan sesuatu melintas di antara mereka—sesuatu yang berat, sesuatu yang berbicara tanpa kata-kata. Tapi tak ada yang berbicara tentang itu. Belum saatnya.
Malam itu, saat berbaring di samping Stephen di tempat tidur, Piper merasakan beratnya lengan Stephen yang melingkari pergelangan tangannya. Irama pernapasan yang tenang. Dia berbalik ke arahnya, menyembunyikan wajahnya di dadanya, merasakan detak jantungnya yang stabil. Pikiran Piper berlarian dengan pertanyaan yang menghantuinya sepanjang hari: Apakah aku harus memberitahu Ethan?
Kebenaran itu, beban yang dibawanya, terasa mencekik. Tapi apa yang akan terjadi jika memberitahu Ethan? Apakah itu akan menghancurkan dunia Layla? Apakah itu akan merusak keluarga yang mereka bangun? Stephen telah membuat pilihannya lima tahun lalu, dan sekarang, dia harus membuat pilihannya sendiri.
Pagi berikutnya, Piper berdiri di dapur, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu saat ia menyiapkan sarapan. Bau mentega dan vanili memenuhi udara saat dia memecahkan telur ke dalam wajan. Gerakan ritmis memasak itu membuatnya tenang, tapi tak ada yang bisa membungkam kekacauan dalam kepalanya.
Stephen masuk, masih basah karena mandi, senyum kantuk di wajahnya. Dia bergerak di belakang Piper, memeluk pinggangnya, dan memberikan ciuman lembut di lehernya.
“Selamat pagi, Pipe,” bisiknya.
“Selamat pagi,” jawab Piper, kata-katanya terasa hampa di tenggorokannya.
Stephen meraih mug, menuangkan kopinya dengan santai, lalu berbalik menatapnya dengan senyum yang familiar. Namun kemudian suaranya menurun, lembut dan santai, namun itu menghentakkan hati Piper seperti petir.
“Kamu tahu,” katanya pelan, sambil mengaduk kopinya, “Dulu aku pernah bertanya-tanya apakah aku bakal menyesal tetap tinggal.”
Jantung Piper berdegup kencang. Dia berbalik untuk menatap Stephen, tapi Stephen sudah menatapnya, pandangannya mantap, penuh pengetahuan.
“Tapi aku nggak,” lanjutnya, suaranya hampir tak terdengar. “Sama sekali nggak.”
Piper merasakan air mata naik ke dadanya, beban rasa bersalah dan cinta yang mengancam untuk menghancurkannya. Tapi alih-alih berbicara, dia memilih diam. Dia berbalik kembali ke mesin wafel, memaksakan dirinya untuk fokus pada adonan. Dia masih mencoba memproses semuanya—apa yang telah dia lakukan, apa yang telah Stephen lakukan, dan kebohongan-kebohongan yang telah menjadi kenyataan mereka.
Beberapa kebenaran, Piper menyadari, memang tak seharusnya diketahui. Beberapa cinta terlalu dalam, terlalu rumit untuk kata-kata. Dan kadang-kadang, diam adalah satu-satunya yang bisa menyatukan mereka.
Saat cahaya pagi masuk melalui jendela, dia bersumpah untuk mencintai Stephen lebih keras, untuk menghargainya, untuk menjadi istri yang pantas dia dapatkan—diam, namun setia. Beberapa rahasia, dia tahu, memang seharusnya tetap terkubur.