Jalan-jalan sepi yang dipenuhi pohon di lingkungan kami selalu terasa seperti rumah. Tetangga yang ramah, rumah-rumah ceria, dan ikatan tak terucapkan yang membuat segalanya terasa aman dan hangat. Aku selalu menyukainya di sini. Aku adalah seorang guru sekolah dasar, jadi hariku dipenuhi dengan tawa anak-anak dan energi penasaran dari murid-muridku. Tapi bukan hanya anak-anak yang aku pedulikan—komunitas kami seperti keluarga besar, selalu siap membantu satu sama lain.
Di sebelah rumah tinggal Thomas dan putrinya, Riley. Mereka adalah keluarga yang luar biasa hingga tragedi datang. Istri Thomas, Martha, meninggal saat melahirkan, meninggalkannya untuk membesarkan Riley sendirian. Dia berusaha sebaik mungkin, tetapi dia sedang berjuang. Aku bisa melihatnya di matanya setiap kali kami berbicara. Kurang dari setahun yang lalu, Thomas menikah lagi dengan Carmen, seorang wanita yang tampak manis pada awalnya. Dia seorang ibu rumah tangga, selalu ada untuk Riley, membawanya ke klub, menghabiskan waktu bersamanya. Tetapi aku mulai merasakan perubahan setelah Thomas meninggal dalam kecelakaan mobil. Aku mencoba membantu Carmen dan Riley melalui hari-hari yang sulit itu, membawa makanan, menawarkan untuk membawa Riley berjalan-jalan sementara Carmen beristirahat.
Suatu sore, Carmen dan Riley datang untuk minum teh. Riley, yang dulunya seorang gadis ceria, kini duduk dengan diam, matanya tampak jauh, dan aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Aku tidak bisa mengabaikannya.
“Aku tidak tahu bagaimana kamu menghadapinya,” kataku pelan, memecah keheningan. “Aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang kita cintai. Tapi kamu masih punya seorang anak yang membutuhkan masa kecil meski begitu. Itu butuh kekuatan.”
Carmen meneguk tehnya. “Tunanganmu meninggal, kan?” dia bertanya.
Aku mengangguk, kenangan akan kematian Mike masih segar, meski sudah lima tahun berlalu. “Ya, Mike meninggal lima tahun yang lalu.”
“Maafkan aku,” katanya, suaranya melembut. “Aku tidak bermaksud mengungkit luka lama.”
“Tidak apa-apa,” jawabku, memaksakan senyum. “Aku hanya… aku tidak terlalu suka membicarakannya.”
Ekspresi Carmen berubah saat dia meletakkan cangkirnya. “Pernahkah kamu berpikir untuk melanjutkan hidup? Mencari seseorang yang baru? Membangun keluarga?”
Kata-katanya menusuk hatiku, tajam dan tak terduga. Aku menelan ludah, suaraku hampir menjadi bisikan. “Aku… aku tidak bisa punya anak.”
Matanya terbelalak. “Oh, Emily, aku sangat menyesal.”
“Tidak apa-apa,” kataku, mencoba menyembunyikan rasa sakit di hatiku. “Tapi aku masih berharap suatu hari aku bisa menjadi ibu bagi seseorang. Mungkin tidak dengan cara tradisional, tapi tetap… seperti yang kamu lakukan untuk Riley.”
Carmen mengangguk, wajahnya melembut. “Riley belum memanggilku ‘ibu’ sampai sekarang,” dia mengakui. “Tapi kami memiliki ikatan yang indah, kan, Riley?”
Riley, yang sejak tadi menatap kue pie-nya, mengangguk pelan tapi tidak menoleh.
Seiring berjalannya waktu, aku terus menghabiskan waktu dengan Riley. Dia datang setelah sekolah, kadang dengan ekspresi sedih, terkadang dengan senyum kecil. Tapi selalu ada kesedihan yang halus di matanya yang menggangguku.
Suatu sore yang dingin, aku menemukan Riley berdiri di luar dekat trotoar, tangannya merah karena dingin.
“Hai, Riley,” sapa ku lembut. “Kamu tidak kedinginan?”
Dia menggelengkan kepala. “Tidak.”
Aku melilitkan syal di lehernya. “Kenapa kamu di luar sendirian?”
“Carmen punya tamu,” kata Riley, suaranya hampir seperti bisikan. “Dia bilang aku harus bermain di luar.”
Sebuah kekhawatiran mengencang di perutku. “Tamu siapa?” tanyaku, berlutut di sampingnya.
Dia mengangkat bahu, menghindari pandangan. “Ada pria bernama Roger. Dia sudah datang beberapa kali.”
Gelombang kecemasan menghampiriku. Thomas belum lama pergi, dan sekarang Carmen sudah ada yang lain? Kecurigaanku semakin tumbuh.
“Kenapa kamu bohong soal tidak kedinginan? Kamu kan kedinginan,” kataku, meraih tangannya yang sedingin es. “Ayo. Kita bawa kamu masuk dan hangatkan badanmu.”
Di dalam, aku membuatkan dia teh, dan kami makan bersama. Aku mencoba menjaga percakapan tetap ringan.
“Apakah Carmen memberi makanmu dengan baik?” tanyaku, mengaduk tehnya.
Riley mengangguk. “Iya. Aku tidak lapar. Dia sering pesan makanan luar. Aku kangen makanan buatan rumah.”
“Bagaimana kalian menghabiskan waktu bersama? Masih pergi ke klub atau main permainan?” tanyaku, merasakan kekhawatiran yang semakin menumpuk di dalam hatiku.
Dia menggelengkan kepala. “Kami bersih-bersih. Carmen bilang itu tugasku sekarang.”
“Cuma bersih-bersih?” tanyaku, hatiku terasa perih untuknya. “Tidak ada klub atau kesenangan lagi?”
“Tidak,” jawabnya, suaranya terdengar sedih. “Carmen bilang kami tidak punya banyak uang. Dia sibuk dengan Roger anyway.”
Aku ingin berteriak frustasi, tapi aku tetap tenang. “Dengarkan,” kataku lembut, “Jika Roger datang lagi dan Carmen menyuruhmu bermain di luar, aku ingin kamu datang ke sini. Bahkan kalau aku tidak di rumah, kuncinya akan ada di bawah tikar. Oke?”
Mata Riley terbelalak. “Benarkah?”
“Benar,” janjiku. “Kamu bisa datang kapan saja. Kita akan bermain, membuat kue, atau lakukan apapun yang kamu mau.”
Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Riley tersenyum—senyum kecil, tapi senyum yang tulus. “Oke.”
Sejak hari itu, Riley datang ke rumahku setiap hari. Dia muncul setelah sekolah, dan aku bisa melihat kesedihan perlahan menghilang dari wajahnya. Kami bermain, menggambar, dan berbicara. Tapi aku tahu ada yang tidak beres dengan Carmen. Perhatiannya tak pernah pada Riley. Selalu pada Roger.
Suatu malam, aku mendengar percakapan Carmen dan Roger di bawah jendelaku. Percakapan mereka membuat tubuhku merinding.
“Kenapa kita tidak bicara di rumahmu saja?” tanya Roger.
Carmen mendesah. “Anak itu sedang tidur. Aku tidak ingin dia mendengar kita.”
Suara Roger terdengar tajam. “Anak itu cuma masalah.”
Aku terkejut, dan hatiku terjatuh.
Suara Carmen menjadi pahit. “Siapa yang bisa menebak Thomas akan meninggalkan semuanya untuk dia? Aku pikir semua itu akan jadi milikku.”
“Jadi, apa rencananya?” tanya Roger.
“Aku sedang mencari celah di surat wasiat,” kata Carmen. “Segera setelah aku temukan cara untuk memindahkan semuanya ke diriku, aku akan menyingkirkannya.”
“Menyingkirkannya?” Roger terdengar tertarik.
“Aku tidak tahu,” kata Carmen dengan dingin. “Mungkin aku akan memberikannya ke layanan sosial. Aku sudah tidak tahan lagi.”
Tanganku gemetar saat aku menutup jendela. Ketakutanku telah menjadi kenyataan. Carmen tidak peduli dengan Riley. Dia hanya peduli dengan warisan.
Aku harus bertindak cepat. Keesokan harinya, aku pergi menemui Mr. Davis, pengacara yang menangani surat wasiat Thomas.
“Mr. Davis, apakah Anda punya waktu sebentar?” tanyaku pelan.
“Tentu,” katanya, memberi senyum ramah.
“Aku khawatir tentang Riley,” kataku. “Aku dengar Carmen sedang mencari celah di surat wasiat Thomas.”
Dia mengerutkan kening, khawatir terlihat di wajahnya. “Surat wasiat Thomas sudah sah. Riley adalah satu-satunya penerima manfaat. Wali pengurus warisan hingga dia cukup umur, tapi tidak ada yang bisa mengambilnya darinya.”
Rasa lega memenuhi diriku. Tapi aku membutuhkan lebih dari sekedar jaminan. “Bisakah Anda bicara dengan Carmen? Pastikan dia mengerti?”
“Akan saya urus,” janjinya.
Seminggu kemudian, aku melihat Carmen dan Mr. Davis berdiri di luar rumahnya. Carmen sedang berteriak, wajahnya merah karena marah.
“Aku tidak butuh anak ini kalau aku tidak bisa mendapatkan apa-apa darinya!” teriaknya.
Mr. Davis berdiri teguh, tenang namun tak tergoyahkan. “Keamanan Riley adalah yang utama. Emily bersedia mengadopsinya.”
Hatiku berdebar kencang. Aku ingin menjadi ibu Riley. Aku ingin dia memiliki kehidupan yang penuh cinta dan keamanan.
Di dalam rumah, Riley berdiri di pintu, tangannya memegang bajunya. “Apakah kamu mau menjadi ibuku?” tanyanya, suaranya kecil namun penuh harap.
Air mata menggenang di mataku. “Aku akan menjadi orang yang paling bahagia jika itu terjadi.”
Dia melemparkan tangannya dan memelukku erat, dan aku memeluknya kembali, tahu bahwa saat itu aku akan melakukan apapun yang diperlukan untuk memberinya kehidupan yang pantas dia dapatkan.
Dengan bantuan Mr. Davis, kami memulai proses adopsi. Itu tidak mudah, tapi kami berhasil melaluinya. Suara Riley adalah yang terkuat di pengadilan—dia ingin bersama aku.
Dan pada akhirnya, dia bersama aku. Aku menjadi ibu Riley, dan Carmen ditinggalkan dengan pilihannya sendiri.
Riley akhirnya menemukan rumah yang aman dan penuh cinta.