Abigail duduk di ujung tempat tidurnya, memeluk putrinya yang baru lahir, Kelly, di pelukannya. Ruangan terasa berat dengan emosi, dan saat suara lembut lampu rumah sakit berdesir di atas, ingatan tentang beberapa hari terakhir masih terngiang di pikirannya, tetap jelas, mentah, dan memilukan.
Saudarinya, Rachel, selalu menjadi teman curhat terdekatnya. Mereka berbagi segalanya, mulai dari impian masa kecil hingga harapan di masa dewasa. Tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan Abigail untuk momen ketika Rachel, wanita yang sama yang dulu percaya bahwa cinta yang membuat sebuah keluarga, berbalik menjauh dari anak yang Abigail bawa untuknya.
Keputusan untuk menjadi ibu pengganti adalah tindakan cinta dan pengorbanan. Abigail tahu beratnya apa yang sedang dilakukannya — bukan hanya untuk Rachel dan Jason, tetapi untuk kehidupan kecil yang sedang ia tumbuhkan di dalam dirinya. Ia setuju tanpa ragu, percaya ini adalah satu-satunya cara untuk membantu saudarinya yang telah menghadapi keguguran demi keguguran.
Keputusan itu mudah dalam teori, tetapi jalan menuju kelahiran bayi itu panjang, penuh dengan antisipasi dan kebahagiaan. Abigail menghabiskan berbulan-bulan melihat Rachel, yang perlahan mulai mendapatkan secercah harapan, mengecat kamar bayi, berbicara dengan perutnya yang membesar, dan bahkan membayangkan masa depan. Tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk momen yang akan dihadapinya.
Hari ulang tahun Tommy yang ketujuh, segalanya berubah. Anak-anak bermain di halaman belakang, tertawa, berlari, dan berguling-guling satu sama lain dengan kostum superhero mereka. Rachel berdiri di dekat jendela dapur, mengawasi dengan rindu yang membuat hati Abigail terluka.
“Mereka semakin besar,” bisik Rachel, tangannya menempel di kaca. “Aku terus berpikir tentang bagaimana anak-anak kita seharusnya tumbuh bersama. Enam kali IVF, Abby. Enam. Dokter bilang aku tidak bisa lagi—” Suaranya terhenti, tak mampu melanjutkan kalimat itu.
Abigail berdiri di samping saudarinya, meletakkan tangan penghibur di bahunya. “Rachel, kita akan menemukan jalan keluar. Kita selalu bisa.”
Suaminya, Jason, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kami sudah berbicara dengan para spesialis,” katanya, suaranya tenang namun dengan urgensi tertentu. “Mereka menyarankan surrogasi. Mereka bilang saudara perempuan biologis adalah pilihan yang ideal.”
Jantung Abigail berdebar kencang. Ia menatap Rachel, yang menoleh kepadanya dengan harapan dan ketakutan yang saling bertarung di matanya. “Abby… maukah kamu mempertimbangkan untuk mengandung anak kami? Tolong… aku sangat membutuhkan ini. Kamu adalah harapan terakhirku.”
Abigail merasa napasnya tercekat. Keputusan itu bukanlah hal yang mudah. Ia dan suaminya, Luke, membicarakannya malam itu, bisikan mereka lembut di kesunyian kamar tidur.
“Seorang ibu pengganti? Itu keputusan besar,” kata Luke, jarinya menggaris lembut di sepanjang lengannya. “Kita harus membicarakan ini dengan hati-hati.”
“Tapi Rachel…” Abigail ragu, lalu berkata dengan keyakinan, “Dia pantas mendapatkan ini, Luke. Dia pantas merasakan kebahagiaan yang kita miliki.”
Keesokan harinya, keputusan itu dibuat. Abigail setuju untuk mengandung anak saudarinya, dan kebahagiaan yang terpancar di wajah Rachel membuat semua keraguan menghilang.
Bulan-bulan pun berlalu, dan kehamilan berjalan dengan lancar. Bayinya tumbuh sehat dan kuat. Rachel dan Jason hadir di setiap janji temu, bersemangat, mimpi mereka akhirnya menjadi kenyataan. Anak-anak Abigail, yang penuh energi dan kegembiraan, berdiskusi tentang siapa yang akan menjadi sepupu terbaik.
“Aku yang akan mengajarinya bermain baseball,” kata Jack dengan bangga, dadanya membusung.
“Aku yang akan membacakannya cerita tidur,” tambah Michael, dengan tekad.
Tommy tidak sabar untuk berbagi koleksi superhero-nya, dan David yang masih empat tahun hanya menepuk perut Abigail dan berkata, “Temanku ada di dalam.”
Tetapi pada hari kelahiran, segalanya berjalan salah.
Kontraksi datang bergelombang, masing-masing semakin kuat dari yang sebelumnya, tetapi Rachel dan Jason tidak ada di sana. Abigail merasakan kekhawatiran membelit perutnya.
“Mereka di mana?” ia terengah-engah, menggenggam tangan Luke.
“Mereka tidak menjawab,” gumam Luke, suaranya tegang dengan kekhawatiran. “Ini tidak seperti mereka.”
Saat Abigail terus berjuang dengan rasa sakit, akhirnya bayi itu lahir — seorang gadis cantik dan sehat. Begitu dokter meletakkannya di pelukan Abigail, semua rasa sakit dan kekhawatiran seolah menghilang.
“Selamat,” kata dokter. “Kamu memiliki bayi perempuan yang sehat.”
Abigail memandang gadis kecil itu, merasakan gelombang cinta yang luar biasa. “Ibumu akan sangat bahagia, sayang,” bisiknya.
Namun, saat Rachel dan Jason akhirnya tiba, kegembiraan yang ia harapkan segera berubah menjadi kebingungan dan keterkejutan.
Wajah Rachel pucat, matanya terbelalak penuh ketakutan saat ia memandang bayi itu. “Dokter baru saja memberitahu kami di resepsi,” kata Rachel, suaranya gemetar, “INI BUKAN BAYI YANG KAMI HARAPKAN.”
Jantung Abigail jatuh. “Apa? Rachel, apa maksudmu?”
“Itu perempuan,” kata Rachel datar, wajahnya tanpa ekspresi. “Kami menginginkan anak laki-laki. Jason membutuhkan seorang putra.”
Jason berdiri di pintu, wajahnya keras dan kecewa. “Kami mengira karena kamu memiliki empat anak laki-laki… kami pikir…” Ia tak menyelesaikan kalimatnya, namun kata-katanya menggantung berat di udara.
Abigail berdiri membeku, tubuhnya secara instingtif menarik bayi itu lebih dekat. “Kamu tidak bisa begitu saja… menolak dia,” bisiknya, suaranya bergetar dengan amarah. “Ini adalah anakmu.”
Suara Rachel pecah saat ia melanjutkan, “Jason bilang dia akan pergi jika aku membawa pulang seorang anak perempuan. Dia bilang keluarganya butuh seorang putra untuk meneruskan nama. Dia memberiku pilihan — dia atau…” Ia melambai putus asa ke arah bayi itu.
Amarah Abigail meledak. “Jadi kamu akan meninggalkan anak perempuannya? Karena dia perempuan?”
Rachel menghindari pandangannya. “Aku tidak tahu harus bagaimana,” katanya pelan. “Kami akan mencarikannya rumah yang baik… mungkin sebuah panti asuhan.”
Abigail hampir kehilangan kendali dengan marah dan hancur hati. “KELUAR!” teriaknya. “Keluar sampai kamu ingat apa arti menjadi seorang ibu.”
Hari-hari berlalu, dan anak-anak Abigail adalah orang yang menunjukkan cinta tanpa syarat kepada bayi itu. Mereka menyambutnya dengan tangan terbuka, melindunginya dengan keras. Jack, yang tertua, berjanji untuk mengajarinya melempar bola sebelum dia bisa berjalan. Michael membacakannya cerita setiap sore. Tommy membagikan mainan superhero-nya, dan David yang kecil selalu menjadi bayangannya.
Namun, baru beberapa hari kemudian ketika Rachel muncul di pintu Abigail, Abigail melihat perubahan itu. Rachel, yang lebih kecil namun lebih kuat, telah meninggalkan suaminya dan berdiri di sana dengan air mata di matanya.
“Aku membuat pilihan yang salah,” kata Rachel, suaranya bergetar. “Aku membiarkan prasangka dia meracuni segalanya. Aku memilih dia karena aku takut… tapi sekarang aku tahu. Aku salah.”
Abigail memandang saudarinya, melihat wanita yang rapuh namun penuh tekad berdiri di depannya. “Aku akan membantumu,” kata Abigail pelan. “Kita akan menyelesaikan ini bersama. Kamu tidak perlu melakukannya sendirian.”
Seiring berjalannya bulan, Rachel menjadi ibu yang pantas didapatkan oleh putrinya. Abigail menyaksikan bagaimana saudarinya merawat Kelly dengan cinta dan dedikasi yang sama seperti yang pernah ia berikan kepada anak-anaknya sendiri. Dan pada akhirnya, Rachel tahu bahwa cinta, bukan ekspektasi, yang membuat sebuah keluarga.
Ini bukan tentang memiliki anak laki-laki atau perempuan. Ini tentang cinta yang bisa mengisi setiap sudut hati mereka, cinta yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan menciptakan sesuatu yang bahkan lebih indah dari yang pernah mereka bayangkan.
“Apakah kamu akan mengajarkanku bagaimana menjadi ibu yang pantas dia dapatkan?” tanya Rachel, suaranya penuh harapan.
Abigail tersenyum, memeluk Kelly di tangannya. “Itulah yang dilakukan saudara perempuan,” katanya lembut. “Kita menyelesaikannya bersama.”