Suami saya menolak untuk membeli telur untuk anak-anak kami — lalu saya menangkapnya memberikan telur sebagai hadiah kepada ibunya.

Cerita yang menarik

Julia tidak pernah menyangka akan bertengkar tentang telur, dari sekian banyak hal, tapi di sinilah dia, berusaha untuk tetap tenang. Toko bahan makanan telah menjadi medan pertempuran bagi dia dan suaminya, Jordan. Telur, yang dulu menjadi makanan pokok di rumah mereka, tiba-tiba menjadi barang mewah karena harga yang melonjak tinggi. Itu juga yang disadari oleh Jordan—mungkin bahkan lebih dari dirinya. Tapi dia punya pendekatan yang berbeda.

Suatu malam, saat Julia sedang memasak makan malam, Jordan masuk ke dapur, terlihat santai seperti biasa.

“Hey, sayang, kamu sadar nggak sih betapa gilanya harga telur sekarang?” kata Jordan, melemparkan jaketnya ke kursi. “Mungkin kita bisa lewatin telur untuk sementara. Anak-anak bisa hidup tanpa itu.”

Julia terhenti sejenak, pisaunya menggantung di atas talenan. “Maksud kamu, nggak beli telur? Anak-anak butuh telur. Mereka sedang tumbuh!” Dia berhenti sejenak, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Aku akan atur, tapi mereka nggak bisa tanpa itu. Mereka butuh rutinitas mereka.”

Jordan mengangkat bahu. “Elijah nggak suka telur kok. Dia cuma kebiasaan aja. Dan Levi? Dia bakal makan apa saja. Kita potong-potong aja belanjaannya. Nggak perlu beli barang-barang ekstra.”

Julia menatapnya tak percaya. “Potong makanan? Untuk anak-anak kita? Jordan, kamu bicara tentang gizi dasar di sini.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak emosi. “Mungkin kamu harus berhenti langganan gym. Lagian kamu juga nggak pernah pake.”

Jordan menghela napas, jelas kesal. “Ya cuma telur, Julia. Mereka bakal baik-baik aja. Kasih mereka lebih banyak buah aja.”

Julia mengepalkan tangan. “Fine,” gumamnya, “Nanti kita lihat saja.”

Keesokan harinya, dia membawa anak-anak ke toko sendiri, bertekad untuk menjaga rutinitas sarapan mereka tetap terjaga. Dia membeli satu lusin telur, cokelat batangan, dan buah-buahan segar. Ini bukan hanya soal telur lagi—tapi tentang menunjukkan pada Jordan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ditawar.

Kemudian, pada akhir pekan itu, mereka mengunjungi ibu Jordan, Carolyn. Julia tidak keberatan dengan Carolyn; dia adalah wanita baik yang lebih suka menjaga dirinya sendiri. Tapi ketika Carolyn meminta mereka untuk membawa anak-anak supaya bisa menghabiskan waktu bersama mereka, Julia setuju. Lagipula, dia nenek yang baik meskipun bukan tipe yang suka masak untuk anak-anak. Julia menyiapkan kotak makan siang mereka dan ikut pergi.

Saat mereka tiba, Julia meletakkan kotak makan siang di kulkas. Tapi ketika dia membuka pintunya, mulutnya ternganga.

Di dalam kulkas itu—penuh dengan telur. Karton telur ditumpuk satu di atas yang lain. Seperti Carolyn memiliki kerajaan telur kecil.

“Wow, Carolyn!” kata Julia, berusaha menyembunyikan keheranannya. “Dapat telur sebanyak ini dari mana? Aku rasa aku bahkan nggak bisa nemuin satu lusin telur dengan harga wajar belakangan ini!”

Carolyn tersenyum, sama sekali tidak sadar badai yang sedang melanda dalam diri Julia. “Oh, Jules,” katanya. “Jordan yang bawa ini kemarin buat aku. Dia benar-benar perhatian. Nggak mau aku repot-repot nyari telur.”

Julia menoleh ke Jordan, yang sedang mencari camilan di lemari. Wajahnya memerah saat melihat tatapan Julia. Sejenak, dia terlihat bersalah—bersalah karena tidak memprioritaskan anak-anak mereka.

Tapi Julia menahan diri. Tidak di sini, tidak sekarang.

“Baik sekali kamu, Jordan,” kata Julia, memaksakan senyum.

Jordan merasa lega, berpikir dia berhasil menghindari masalah. Tapi Julia tahu lebih baik.

Keesokan paginya, Julia menjalankan rencananya.

Jordan duduk di meja sarapan, mengharapkan piring telur, roti bakar, dan sosis seperti biasa. Sebaliknya, Julia meletakkan sepotong roti bakar kering dan secangkir kopi hitam. Tanpa gula.

“Eh… mana sarapanku, Jules?” Jordan memandangi piring dengan bingung.

Julia tersenyum manis. “Oh, sayang. Aku harus potong belanjaan. Telur itu terlalu mahal, ingat kan? Dan susu. Dan gula. Dan sosis. Gimana kita bisa hidup tanpa itu semua?”

Wajah Jordan berkerut kesal. “Ayo deh, Julia! Itu soal anak-anak, bukan aku!”

Julia memiringkan kepalanya. “Nah, kalau anak-anak kita nggak butuh telur, Jordan, aku rasa kamu juga nggak perlu.”

Hari-hari berlalu, dan Jordan harus menahan sarapan kering tanpa telur. Setiap pagi, itu hanya roti bakar kering dan kopi hitam. Akhirnya, pada hari kelima, dia menyerah.

“Okay, okay!” Jordan mengangkat tangan tanda menyerah. “Aku ngerti!”

Julia menyandarkan diri di kursinya, berpura-pura tidak tertarik. “Ngerti apa, Jordan?”

“Aku nggak seharusnya beli telur buat ibuku sementara bilang ke kamu buat potong belanjaan. Itu egois, oke? Tapi waktu dia telepon, aku cuma… nggak bisa nolak. Bisa nggak aku minta telur sekarang?”

Julia berhenti sejenak, berpura-pura berpikir. Lalu, dia bangkit, berjalan ke kulkas, dan mengambil sebutir telur. Dia meletakkannya di piring Jordan.

“Ini. Itu yang kamu dapat hari ini, Jordan,” katanya dengan senyum. “Mungkin besok, kalau aku merasa, kamu dapat dua.”

Jordan menatap telur yang kesepian itu. “Apa yang harus aku lakukan dengan ini?”

“Oh, diam aja. Goreng sendiri. Harusnya kamu bersyukur aku nggak kirim ke Carolyn.”

Jordan mengeluh, mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Julia, aku salah. Seharusnya aku utamakan anak-anak.”

Julia memandangnya sejenak. “Aku ngerti, Jordan. Aku ngerti. Tapi tahu nggak apa yang lebih buruk dari bilang ‘tidak’ ke ibumu? Bilang ke anak-anakmu kalau ayah mereka nggak mau beli makanan buat mereka.”

Ekspresi Jordan melunak saat dia menyerap kata-katanya. Dia menghela napas. “Aku nggak mikir sampai situ.”

“Yah, kamu seharusnya,” kata Julia. “Kita tim. Kamu nggak bisa bikin keputusan kayak gitu tanpa bicara sama aku. Kamu nggak bisa tempatkan ibumu di depan anak-anakmu.”

Setelah percakapan itu, semuanya mulai berubah. Jordan mulai memahami pentingnya menyeimbangkan prioritas. Keesokan harinya, ketika Julia membuka kulkas, dia menemukan enam karton telur.

Jordan, yang sedang berdiri di samping pembuat kopi, tersenyum. “Aku pikir lebih baik stok banyak, supaya nggak kehabisan lagi.”

Julia mengangkat alis. “Kamu oke dengan itu?”

“Kamu udah kasih pelajaran, Jules,” kata Jordan sambil tersenyum nakal. “Beberapa hal itu nggak bisa ditawar. Kayak makanan. Untuk anak-anak kita. Dan jujur? Aku juga suka telur.”

Julia tertawa. “Lihat deh kamu, belajar dan berkembang.”

Dan dengan itu, semuanya kembali normal. Anak-anak mendapat telur mereka, dan Jordan belajar pelajaran penting tentang memprioritaskan keluarga.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article