Itu adalah malam prom sekolah menengah mereka, sebuah momen yang terasa seperti dunia berhenti bergerak. Peter berdiri di bawah cahaya lembut lampu gantung, menggenggam tangan Sally dengan erat. Musik terdengar samar, dunia di sekitar mereka memudar ke latar belakang. Hanya ada mereka berdua.
“Aku tidak ingin pergi,” bisik Sally, suaranya bergetar.
Mata Peter melembut saat dia menyeka air mata yang mengalir di pipi Sally. “Aku tahu, Sally. Aku juga tidak ingin kamu pergi.”
Sally menarik tangannya, menatapnya dengan mata hijau cerah yang penuh keraguan. “Tapi bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan semua yang sudah kita rencanakan? Aku tidak bisa begitu saja pergi.”
Peter menghela napas, merasakan beratnya momen itu. “Kamu harus pergi. Kamu harus mengikuti impianmu, Sally. Aku tidak bisa menjadi orang yang menahanmu.”
Wajah Sally mengerutkan kekecewaan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya tanpamu, Pete.”
Dia menariknya dalam pelukan, dadanya terasa sesak. “Aku janji, kita akan bertemu lagi. Sepuluh tahun dari sekarang, Malam Natal, Times Square. Aku akan ada di sana, memegang kenangan tentangmu. Aku akan mencari wanita tercantik dengan payung kuning.”
Sally tertawa, suara pahit dan patah. “Bahkan jika kita sudah menikah atau punya anak nanti? Kamu harus datang… hanya untuk memberitahuku bahwa kamu bahagia.”
“Terutama saat itu,” jawab Peter, menghapus air mata lainnya. “Karena tidak peduli di mana kita berada dalam hidup, beberapa hubungan melampaui waktu.”
Mereka saling memeluk erat selama beberapa saat lagi, mengetahui bahwa perpisahan ini bukanlah selamanya, tapi sebuah bab yang tak terhindarkan dalam kisah mereka.
Sepuluh tahun kemudian
Peter berdiri di pusat Times Square, kerah mantel terangkat untuk melawan udara musim dingin yang menggigit. Salju mulai turun, sentuhan lembut yang tenang di atas kerumunan yang sibuk. Lampu Natal berkelap-kelip di setiap sudut, dan dunia tampaknya berdenyut dengan kegembiraan. Tapi Peter tidak ada di sini untuk lampu atau keceriaan liburan. Dia ada di sini untuk sebuah janji.
Jantungnya berdebar saat dia memindai kerumunan wajah-wajah, mencari satu orang yang telah dia janji untuk ditemukan. Payung kuning. Dia belum bertemu Sally selama bertahun-tahun, tapi dia tahu dia akan mengenalinya di mana saja.
Jam tangannya berdetak, menit berubah menjadi jam. Payung kuning tetap menjadi bayangan, selalu tepat di luar jangkauan. Lalu, tepat saat dia hampir menyerah, sebuah suara kecil memanggil dari belakang.
“Apakah kamu Peter?”
Peter berbalik, jantungnya melonjak. Di sana, berdiri di depannya, seorang gadis muda memegang payung kuning. Matanya terbuka lebar dan familiar.
“Ya, saya Peter. Siapa kamu?” tanya Peter, suaranya penuh emosi.
Gadis itu menggigit bibirnya, gerakan itu mengingatkannya pada Sally. “Nama saya Betty… Dia… dia tidak datang.”
Perut Peter terasa turun. “Maksudmu apa? Di mana Sally?”
Betty ragu sejenak, lalu berbisik, “Saya… saya anakmu.”
Peter terhuyung mundur, dunianya seakan runtuh di sekelilingnya. “Anakku?”
Sebelum Betty bisa berbicara lagi, sepasang orang tua mendekat. Pria itu, tinggi dengan rambut perak, melangkah maju.
“Kami menemukannya,” kata Betty, suaranya campuran antara gugup dan harap.
Pria itu tersenyum lembut. “Halo, Peter. Saya Felix, dan ini istri saya. Kami orang tua Sally. Kami sudah banyak mendengar tentangmu.”
Peter membeku, kebingungannya meluap. “Di mana Sally? Maksudmu… anak?”
Suara Felix bergetar. “Sally meninggal dua tahun yang lalu… karena kanker.”
Kaki Peter terasa lemas, dunia seakan berputar. “Tidak. Tidak, itu tidak benar,” bisiknya, menolak untuk mempercayainya.
“Saya minta maaf,” kata Felix pelan. “Sally tidak ingin kamu tahu.”
Betty menarik lengan Peter, tangan kecilnya hangat di tangannya. “Ibu bilang kamu mencintainya,” bisiknya. “Dia bilang kamu mencintainya seperti dia adalah hal yang paling berharga di dunia.”
Peter jatuh berlutut, kata-kata itu menghancurkannya. “Kenapa dia tidak memberitahuku? Kenapa dia tidak memberitahuku tentang kamu? Tentang penyakitnya?”
Ibu Felix melangkah maju, suaranya bergetar. “Dia tahu bahwa dia hamil dengan anakmu setelah dia pindah ke Paris. Dia tidak ingin memberatkanmu. Dia pikir kamu sudah melanjutkan hidup, bahwa kamu bahagia.”
Pernapasan Peter terhenti. “Aku tidak pernah berhenti mencintainya,” bisiknya.
Ibu Felix mengeluarkan sebuah buku harian kecil yang sudah usang, jarinya gemetar saat memberikannya kepada Peter. “Dia menulis tentangmu. Tentang betapa dia bersemangat untuk bertemu denganmu lagi.”
Peter membuka buku harian itu, tangannya gemetar saat membaca halaman-halaman yang penuh dengan tulisan Sally, dipenuhi cinta dan penyesalan, yang membawanya kembali ke momen-momen indah yang mereka bagikan. Saat dia membalik halaman, sebuah foto terjatuh — sebuah gambar dari malam prom, Sally muda dan Peter, berpegangan tangan dan tenggelam dalam tatapan satu sama lain.
Betty menatapnya, matanya hijau penuh intensitas yang sama seperti yang pernah dia lihat di mata ibunya. “Kamu ayahku,” katanya, suaranya bergetar antara harapan dan ketakutan.
Peter mengangguk, hatinya dipenuhi dengan rasa koneksi yang luar biasa. “Kamu mirip sekali dengan ibumu,” bisiknya.
Betty tersenyum malu, kemiripannya dengan Sally tak terbantahkan. “Ibu dulu bilang kamu membuatnya tertawa saat semuanya terasa sulit,” kata Betty. “Dia bilang kamu satu-satunya yang bisa membuatnya tersenyum saat dia menangis.”
Air mata menggenang di mata Peter. “Aku akan melakukan apa saja untuknya.”
Felix meletakkan tangan di bahunya. “Kami tahu, Peter. Kami tahu.”
Selama beberapa bulan setelahnya, Peter bekerja keras untuk membawa Betty ke AS. Prosesnya rumit, tetapi tidak ada yang akan menghentikannya. Dia menghabiskan harinya bersamanya, mengajarinya tentang ibunya dan segala yang telah dia lewatkan. Mereka mengunjungi makam Sally, membawa mawar kuning setiap kali, karena Peter berjanji untuk tidak pernah melepaskan Betty.
Suatu hari, saat mereka berdiri di depan makam Sally, Betty menoleh pada Peter, napasnya terlihat di udara dingin.
“Ibu dulu bilang kuning adalah warna awal yang baru,” bisik Betty.
Peter tersenyum, menghapus air mata. “Dia benar. Dia pasti sangat bangga padamu.”
Betty tersenyum, bersandar padanya. “Dan dia akan senang kita saling menemukan.”
Peter memeluknya erat. “Aku janji, sayang, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tidak sampai akhir waktu.”
Dan saat itu, di bawah salju yang turun lembut, Peter tahu bahwa cinta yang dimulai sepuluh tahun lalu, di jantung Times Square, hanya semakin kuat seiring berjalannya waktu.