Saya diadopsi 17 tahun yang lalu — Pada ulang tahun saya yang ke-18, seorang wanita asing mengetuk pintu saya dan berkata, “Saya ibu kandungmu, ikutlah dengan saya sebelum terlambat.”

Cerita yang menarik

Emma selalu tahu bahwa dia diadopsi. Itu adalah kenyataan yang tidak pernah dia ragukan, tidak pernah dia pertanyakan. Orang tuanya, Mary dan David, memastikan dia memahami bahwa itu bukanlah rahasia—hanya bagian dari ceritanya. Mereka selalu ada untuknya. Ulang tahun, pertandingan sepak bola, patah hati—mereka adalah dukungan yang tak tergoyahkan baginya. Dan setiap malam, mereka memasak bersama, kehangatan ibunya memenuhi dapur mereka saat mereka tertawa tentang hal-hal sederhana.

Namun, semuanya berubah pada hari dia berulang tahun yang ke-18.

Segalanya dimulai dengan email aneh dan permintaan pertemanan Facebook yang misterius dari seorang wanita bernama “Sarah W.” Emma mengabaikannya, berpikir itu hanya kesalahan. Kemudian, pada pagi hari ulang tahunnya, sebuah ketukan di pintu datang yang akan mengubah hidupnya selamanya.

“Emma?” wanita itu terengah-engah ketika Emma membuka pintu.

Emma terdiam. Dia tidak tahu siapa wanita ini, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat jantung Emma berdebar kencang.

“Siapa kamu?” tanya Emma, suaranya bergetar.

Wanita itu melangkah maju, wajahnya penuh dengan emosi. “Aku ibumu,” bisiknya. “Ibumu yang sebenarnya.”

Nafas Emma tertahan di tenggorokannya. Ibu kandungnya?

“Tidak,” bisik Emma, menggelengkan kepalanya. “Itu tidak mungkin.”

Namun wanita itu—yang tampak sangat mirip dengannya—terus maju, memegang sebuah map. Dia menyerahkan dokumen kelahiran kepada Emma, dan di sana, ada namanya, tanda tangan di bagian bawah. Kenyataan itu menghantam Emma seperti pukulan di perut.

“Aku tidak pernah ingin menyerahkanmu,” wanita itu bergumam, air mata menggenang di matanya. “Aku masih muda, takut. Mereka bilang aku tidak cukup baik, bahwa kamu akan lebih baik tanpa aku. Tapi mereka berbohong. Mereka mengambilmu dariku.”

Kepala Emma berputar. Apakah ini nyata? Apakah ini benar? Pikiran Emma berlari cepat saat dia memandangi wajah wanita itu, sebuah wajah yang tidak akan pernah bisa dilupakan setelah sekarang berada di depannya.

“Aku tidak mengerti,” bisik Emma. “Kenapa sekarang?”

“Karena aku membutuhkanmu,” wanita itu memohon. “Ayo ikut denganku. Kamu tidak perlu tinggal bersama mereka lagi.”

Kata-katanya menggantung di udara. Namun sebelum Emma bisa menjawab, ponselnya bergetar. Itu adalah pesan dari orang tuanya. Mereka sedang menyiapkan sarapan ulang tahun favoritnya—pancake dan bacon, seperti setiap tahun. Tangan Emma gemetar saat dia menatap pesan itu. Apa yang harus dia lakukan? Seluruh dunianya baru saja terbalik.

“Aku akan menemuimu di diner,” kata Emma, suaranya hampir tidak terdengar.

Kemudian hari itu, Emma duduk di ruang tamu, orang tuanya duduk di depannya, menunggu untuk mendengarnya menceritakan tentang wanita itu. Beban apa yang akan dia katakan terasa berat di ruangan itu.

“Ada apa, sayang?” tanya ibunya, senyum di wajahnya memudar.

“Seseorang datang ke rumah,” kata Emma, suaranya goyah.

Wajah ayahnya mengeras. “Siapa?”

“Dia bilang dia ibu kandungku,” jawab Emma.

Udara di sekitar mereka berubah, tegang dan dingin.

“Dia bilang kamu berbohong padaku,” lanjut Emma, suaranya pecah. “Bahwa kamu menipunya untuk menyerahkan aku.”

Ibu Emma menghirup napas tajam, tangannya gemetar di lengan sofa. “Emma, itu sama sekali tidak benar.”

Namun Emma tidak bisa menghilangkan perasaan itu—ketidakpastian yang menggerogoti dirinya. Dia harus tahu kebenarannya.

“Aku bilang padanya aku akan menemuinya selama seminggu,” kata Emma dengan pelan.

“Emma, tolong,” bisik ibunya, suaranya pecah. “Jangan lakukan ini.”

Namun Emma tidak bisa mundur. Dia perlu memahami. “Aku akan kembali,” janjinya. “Aku hanya perlu mencari tahu ini.”

Emma menemukan dirinya berdiri di depan mansion Sarah. Tangga megah, lantai marmer—semuanya terlalu banyak. Sarah, “ibu kandungnya,” berdiri di sampingnya, matanya penuh dengan emosi.

“Ini bisa menjadi milikmu,” kata Sarah, suaranya penuh dengan kerinduan.

Emma merasakan rasa bersalah yang tajam di dalam dirinya. Apakah ini kehidupan yang seharusnya dia jalani?

Keesokan harinya, Emma bertemu seorang wanita bernama Evelyn di luar mansion itu. Evelyn cepat berbicara, suaranya rendah dan mendesak.

“Dia tidak memberitahumu, kan?” tanya Evelyn, matanya menusuk jiwa Emma. “Sarah tidak pernah berjuang untukmu. Dia menyerahkanmu karena dia ingin. Dia menganggapmu sebagai gangguan.”

Perut Emma terasa mual saat Evelyn melanjutkan, mengungkapkan kenyataan yang keras. “Dia berpesta, Emma. Dia tidak peduli padamu. Dia tidak pernah mencarimu—tidak sampai sekarang.”

Ketakutan dan ketidakpercayaan memenuhi dada Emma. “Kenapa sekarang?” bisiknya.

Mata Evelyn mengeras. “Karena kakekmu meninggal, Emma. Dan dia meninggalkan semuanya untukmu. Kamu sudah 18 sekarang. Itu semua milikmu. Dia hanya mengejar uang.”

Emma merasa mual. Beban itu menghantamnya sekaligus. Wanita yang mengaku sebagai ibunya bukan mencari cinta. Dia sedang mencari jalan masuk.

Malam itu, Emma berdiri di depan tangga megah, hatinya terasa berat. Sarah bersandar di pegangan tangga, tangannya dilipat.

“Apakah kamu benar-benar akan pergi?” tanya Sarah datar.

“Aku harus pergi,” kata Emma. “Aku tidak bisa tinggal di sini. Kamu tidak menginginkanku—kamu menginginkan uang itu.”

“Aku melahirkanmu,” Sarah membalas.

“Dan kemudian kamu membiarkanku pergi,” jawab Emma, suaranya mantap. “Kamu menyerahkanku.”

“Aku akan ambil uang itu,” kata Emma, berbalik untuk pergi. “Aku akan bayar kuliahku sendiri dan memanjakan orang tuaku. Mereka telah ada untukku sepanjang hidupku.”

Sarah tidak menjawab. Emma berjalan menuju pintu, tas di bahunya.

Saat Emma kembali ke rumah, orang tuanya sedang menunggu. Tanpa berkata sepatah kata pun, Emma berlari ke pelukan ibunya dan jatuh ke dalam pelukannya.

“Aku pulang,” bisiknya.

Ibunya mengelus rambutnya. “Kamu pulang, sayang.”

Dan memang, dia pulang. Emma menyadari bahwa rumah bukanlah di sebuah mansion atau kekayaan—rumah adalah pada orang-orang yang benar-benar mencintainya, yang tidak pernah meninggalkannya. Keluarga aslinya.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article