Suami Kakakku Melemparkan Soda ke Wajahku—Karena Dia Tahu Apa yang Akan Aku Tunjukkan Padanya

Cerita yang menarik

Malam itu seharusnya menjadi perayaan yang penuh sukacita. Emma telah merencanakan pesta ulang tahunnya yang ke-40 selama berbulan-bulan—makan malam intim dengan teman-teman dan keluarga, dipenuhi dengan tawa, kue, dan anggur. Tetapi alih-alih menikmati kehangatan malam itu, ada sesuatu di udara yang terasa… aneh.

Saat saya memasuki ruang tamu yang terang benderang, bunyi gelas yang saling bersentuhan dan percakapan ringan memenuhi ruangan. Bau ayam panggang dan roti yang baru dipanggang tercium di udara. Emma, yang selalu menjadi tuan rumah yang baik, sibuk menyapa tamu, tawa cerianya mengisi ruangan saat dia berusaha menikmati malam itu. Suaminya, Graham, adalah cerita yang berbeda. Dia duduk di ujung meja, hampir tidak menghiraukan orang-orang di sekitarnya, wajahnya tertunduk di ponselnya.

“Apakah Graham baik-baik saja?” saya bertanya pelan kepada ibu kami, memperhatikannya yang menghindari tatapan Emma.

“Saya tidak tahu,” jawab ibu, suaranya penuh kekhawatiran. “Belakangan ini dia bertindak aneh.”

Emma, yang tidak menyadari badai yang sedang mendekat, sibuk berbicara dengan teman-temannya, tetapi saya melihat bagaimana dia terus-menerus melirik Graham. Sesekali, dia akan menyentuh bahunya, membisikkan sesuatu ke telinganya, tetapi dia tampak jauh, seolah-olah dia berada di dunia yang berbeda.

Kemudian, saat kami sedang menyelesaikan makan malam, saya memperhatikan sesuatu yang aneh. Graham tidak bergerak dari tempatnya, masih terpaku pada ponselnya. Ini adalah ulang tahun Emma, tetapi dia bahkan tidak bisa mengangkat gelas untuk bersulang.

“He, Graham,” saya berkata,打打打打membuka keheningan. “Apa kamu tidak akan memberi toast untuk Emma?”

Ruangan itu terdiam. Semua mata tertuju padanya, menunggu respon. Graham akhirnya mengangkat kepalanya, ekspresi wajahnya sulit dibaca. Matanya menyipit seolah dia kesal dengan pertanyaan itu.

“Ini bukan urusanmu!” dia membentak tiba-tiba, wajahnya memerah karena marah. “Kamu tahu kenapa kamu masih jomblo? Kamu selalu ikut campur urusan orang!”

Kata-kata itu mengenai saya seperti tamparan. Ruangan itu menjadi sangat sunyi, tak ada yang berani bergerak. Jantung saya berdebar keras saat saya melihat dia berjalan keluar, meninggalkan kami semua dalam keheningan yang terkejut.

“Emma,” saya berbisik, menatapnya. “Apa yang baru saja terjadi?”

Dia terlihat seperti baru saja ditampar, wajahnya pucat karena kaget. “Saya tidak tahu. Saya belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.”

Kami berdua berdiri di sana sejenak, ketegangan di ruangan itu terasa begitu tebal. Lalu, dengan pelan, Emma meraih lengan saya dan membimbing saya menuju kamar mandi.

“Saya sangat menyesal,” katanya, suaranya bergetar. “Saya tidak tahu apa yang membuat dia seperti ini.”

“Tidak apa-apa,” jawab saya, berusaha tetap tenang. “Tapi saya rasa ada sesuatu yang perlu kamu ketahui.”

Emma menatap saya bingung. “Maksudmu apa?”

Saya mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto-foto yang saya ambil tiga malam yang lalu. Foto pertama adalah Graham di sebuah restoran, duduk berhadapan dengan seorang wanita berbaju merah. Mereka tertawa, cukup dekat untuk hampir saling menyentuh. Foto kedua? Ciuman—bibir Graham menempel di bibir wanita itu.

Wajah Emma berubah dari bingung menjadi tidak percaya. “Dia… dia bohong soal pertemuan bisnis malam itu.”

“Saya sudah tahu dia berbohong,” saya mengakui pelan. “Tapi saya ingin mendengar apa yang akan kamu katakan.”

Air mata mulai menggenang di mata Emma. “Saya merasa ada yang salah, tapi saya tidak ingin mempercayainya.”

“Saya sangat menyesal,” bisik saya. “Tapi dia menyembunyikan sesuatu, dan saya rasa kamu berhak mengetahui kebenarannya.”

Emma menghapus air matanya. “Saya butuh bukti lebih banyak,” katanya, suaranya kini tegas penuh tekad. “Saya tidak bisa menghadapi dia tanpa tahu semuanya.”

Saya ragu sejenak. “Apakah kamu yakin ingin melakukan ini malam ini?”

Dia menatap saya, matanya penuh tekad. “Saya tidak bisa hidup dalam kegelapan lagi. Saya harus tahu semuanya.”

Kami bergegas ke kamar tidur Emma. Di sana, dia mengambil laptopnya dan login ke rekening bank bersama mereka. Jantung saya terjatuh saat melihat penarikan besar-besaran—$500 di sini, $1.200 di sana. Dan kemudian ada tagihan sebesar $3.000 di toko perhiasan.

“Apakah dia membeli sesuatu untukmu baru-baru ini?” saya bertanya pelan.

Emma menggelengkan kepala, bibirnya rapat. “Tidak.”

“Kalau begitu untuk siapa dia membeli itu?” tanya saya, perut saya terasa mual.

Suara Emma kini mantap, tetapi penuh amarah yang tersimpan. “Saya rasa kita sama-sama tahu.”

Emma menutup laptop dengan keras dan berbalik ke saya. “Kita tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja. Kita akan membuatnya menghadapi kenyataan.”

Malam itu, Graham pulang setelah tengah malam, bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia melemparkan kuncinya ke atas meja dan berjalan menuju tangga, tetapi Emma dan saya sudah menunggu di ruang tamu.

Saat dia melihat kami, dia mengernyit. “Apa-apaan ini?”

Saya tersenyum manis dan mengangkat remote. “Kami punya presentasi spesial untukmu malam ini.”

Matanya melebar kebingungan. “Apa maksudmu?”

Saya menekan remote, dan layar TV menyala dengan slide pertama—screenshot demi screenshot dari penarikan uangnya yang mencurigakan. $500, $1.200, dan kemudian yang terbesar—$3.000 untuk perhiasan yang tidak pernah Emma lihat.

Slide kedua adalah struk dari toko perhiasan—wajah Emma memerah saat dia mengenali nama toko itu. “Apa kamu membeli sesuatu untuknya?” saya tanya lagi.

Slide ketiga menunjukkan foto Graham mencium wanita berbaju merah, terakhir kalinya dia mencoba berbohong.

Wajah Graham memucat. “Kalian berdua gila!” teriaknya. “Apa-apaan ini?!”

Emma menyilangkan tangan. “Tidak, Graham. Kamu yang gila. Apa kamu pikir saya tidak akan menemukannya?”

Matanya memanas dengan amarah saat dia berbalik ke saya. “Kamu…!”

Saya memotongnya, mengangkat ponsel saya. “Hati-hati apa yang kamu katakan, Graham. Kami sudah mengirim semuanya ke keluargamu. Jangan coba-coba menelepon mereka—mereka akan menghubungimu.”

Telepon Graham langsung berdering. Emma tersenyum sinis. “Itu pasti ibumu.”

Dia meraih kunci-kuncinya, wajahnya merah karena marah. “Ini belum berakhir!” teriaknya, sambil berjalan menuju pintu.

Ekspresi Emma tetap tenang saat dia berbicara. “Oh, saya rasa sudah berakhir.”

Dengan itu, dia pergi, dan rumah menjadi sunyi, yang terasa seperti kelegaan.

Emma terjatuh ke sofa di samping saya, wajahnya terasa santai untuk pertama kalinya sepanjang malam. “Saya kira ini akan menghancurkan saya,” katanya pelan, “tapi saya merasa lebih ringan.”

Saya tersenyum. “Karena kamu bebas.”

Dia menatap saya, matanya bersinar dengan kekuatan yang baru ditemukan. “Kamu tidak merusak ulang tahunku. Kamu memberi saya hadiah—pembebasan.”

Dan saat itu, saat beban terangkat dari pundaknya, saya tahu dia siap untuk memulai yang baru. Tidak ada lagi kebohongan. Tidak ada lagi rahasia. Emma akhirnya bebas.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article