Sophie selalu percaya bahwa dia tahu segala hal tentang suaminya, Peter. Mereka sudah menikah selama tiga tahun, dan hubungan mereka tampak seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Peter adalah segalanya yang dia inginkan—cerdas, lucu, perhatian. Romansa kilat mereka dengan cepat mengarah pada pernikahan, dan tak lama setelah itu, mereka mengharapkan anak pertama mereka. Sophie merasa hidup bersama Peter akan sempurna.
Namun, semuanya tidak seindah yang terlihat.
Ketika pekerjaan Peter memindahkannya kembali ke Jerman, Sophie, seorang wanita Amerika, harus meninggalkan keluarga dan teman-temannya. Meskipun keindahan Jerman tidak dapat disangkal, Sophie merasa kesulitan. Dia merindukan orang-orang yang dia cintai, dan keluarga Peter terasa jauh, hampir tidak mengakui kehadirannya.
Sophie sudah mempelajari sedikit bahasa Jerman, berharap dapat terhubung dengan keluarga Peter, tetapi itu tidak banyak membantu. Ibunya, Ingrid, dan saudara perempuannya, Klara, tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris, dan komentar mereka tentang Sophie seringkali tajam dan dalam bahasa Jerman, mengira dia tidak bisa memahami. Sophie tidak menunjukkan bahwa dia bisa memahami semuanya.
Suatu sore, Sophie mendengar percakapan di ruang tamu. Dia sedang di dapur, menyiapkan camilan untuk anak mereka, ketika kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan ke perut.
Ingrid menghela napas. “Dia sudah sangat gemuk dengan kehamilan ini. Saya rasa dia tidak akan bisa mengelola dua anak.”
Klara terkikik. “Dia juga tidak terlihat bagus dengan gaun itu.”
Hati Sophie terjatuh, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Ini bukan pertama kalinya, dan itu tidak akan menjadi yang terakhir. Dia diam-diam menghapus air mata, berusaha untuk tetap tegar.
Beberapa minggu kemudian, Sophie mendengar sesuatu yang lebih menyakitkan lagi.
“Dia masih tidak tahu, kan?” Ingrid berbisik kepada Klara.
Suara Klara menurun. “Tentu saja tidak. Peter tidak pernah memberitahunya kebenaran tentang bayi pertama.”
Sophie terdiam, jantungnya berdegup kencang. Kebenaran tentang bayi pertama?
“Rambut merahnya… itu bukan dari pihak keluarga kami,” tambah Ingrid.
Klara tertawa. “Mungkin dia tidak memberitahu Peter semuanya.”
Pikiran Sophie berpacu. Dia tahu anak mereka memiliki rambut merah, tetapi apa artinya ini? Apakah ada sesuatu yang tidak diberitahukan Peter padanya?
Malam itu, ketika ketegangan di rumah semakin memuncak, Sophie tidak bisa menepis perasaan bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Ketika Peter masuk ke dapur, dia berdiri, tangannya gemetar.
“Peter,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Apa ini tentang bayi pertama kita? Apa yang belum kamu katakan padaku?”
Wajah Peter berubah pucat. Matanya melebar karena panik, dan untuk sesaat, dia tidak mengatakan apa-apa. Perut Sophie terasa mual dengan ketakutan.
Dia menghela napas dalam-dalam, duduk di meja dapur. “Ada sesuatu yang belum kamu ketahui,” kata Peter, suaranya penuh penyesalan. “Ketika kamu melahirkan bayi pertama kita… keluargaku, mereka mendesakku untuk melakukan tes paternitas.”
Jantung Sophie berhenti sejenak. “Tes paternitas?” dia mengulang, suaranya hampir berbisik. “Kenapa mereka—?”
Peter menjalankan tangannya melalui rambutnya, terlihat bingung. “Mereka pikir waktunya terlalu dekat dengan saat kamu mengakhiri hubungan terakhirmu. Dan rambut merahnya… mereka bilang anak kita pasti bukan anakku.”
Sophie berdiri membeku, pikirannya berusaha memproses kata-kata itu. “Jadi kamu melakukan tes itu? Diam-diam?”
Peter menatapnya, matanya penuh rasa bersalah. “Aku tidak pernah meragukanmu, Sophie. Aku tidak pernah. Tapi keluargaku… mereka tidak bisa berhenti. Mereka mendesak, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghentikan mereka.”
Kepala Sophie terasa berputar. “Dan hasil tesnya? Apa yang dikatakan?”
Wajah Peter mengerut penuh penyesalan. “Hasilnya… hasilnya bilang aku bukan ayahnya.”
Kata-kata itu menghantam Sophie seperti tonjokan. Dia merasakan gelombang ketakutan yang dingin menyapu dirinya. “Apa? Bagaimana bisa itu terjadi? Aku tidak pernah berselingkuh!”
Peter berdiri, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Aku tahu! Itu juga tidak masuk akal bagiku. Tapi hasil tesnya negatif. Keluargaku… mereka tidak mempercayai aku saat aku bilang itu kesalahan. Aku harus memberitahumu semuanya.”
Dunia Sophie seakan runtuh. “Dan kamu mempercayainya? Kamu pikir itu benar? Selama bertahun-tahun? Kenapa kamu tidak memberitahuku?” Suaranya pecah, dan air mata memenuhi matanya. “Kamu berbohong padaku. Selama ini, kamu menyembunyikan rahasia ini, dan sekarang kamu memberitahuku?”
Peter melangkah mendekat, tangannya gemetar saat dia meraih tangannya. “Aku takut, Sophie. Keluargaku tidak akan melepaskannya. Tapi aku tidak pernah meragukanmu. Aku tidak meragukan bahwa anak kita adalah anakku. Aku ingin bersamamu, dan aku menerima dia sebagai anakku. Aku mencintainya seolah dia anakku sendiri.”
Sophie melangkah mundur, merasa seperti tercekik. “Kamu seharusnya mempercayaiku! Kamu seharusnya memberitahuku yang sebenarnya. Kita bisa menghadapinya bersama, tapi sebaliknya, kamu menyembunyikannya dariku!”
Mata Peter dipenuhi air mata. “Aku tidak ingin menyakitimu. Aku tidak ingin kamu pikir aku meragukanmu. Tapi keluargaku… mereka memaksaku. Dan ketika hasil tesnya keluar, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa memberitahumu.”
Sophie menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dia berjalan keluar ke malam yang sejuk, membutuhkan waktu untuk membersihkan pikirannya. Dia berdiri dalam kegelapan, menatap bintang-bintang, sementara beban rahasia Peter menekan dirinya.
Dia tidak tahu harus merasa apa—dikhianati, bingung, marah, atau terluka. Dia mencintai Peter. Dia mencintai anak mereka. Tetapi bagaimana dia bisa mempercayainya lagi setelah ini?
Setelah beberapa menit, Sophie menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam. Dia harus kembali ke dalam. Dia tidak bisa membiarkan ini merobek keluarga mereka. Mereka harus menghadapinya—bersama.
Saat dia kembali ke dapur, Peter duduk di meja, kepalanya tertunduk di tangannya. Dia mengangkat wajahnya saat mendengar langkah kaki Sophie.
“Maafkan aku,” bisik Peter, suaranya patah. “Aku sangat menyesal.”
Sophie mengangguk perlahan, hatinya masih terasa sakit. “Ini akan butuh waktu, Peter. Waktu yang lama. Tapi kita akan menyelesaikannya.”
Peter meraih tangan Sophie, matanya penuh harapan. “Bersama?”
Sophie mengangguk, suaranya lembut namun tegas. “Bersama.”
Dan meskipun jalan di depan mereka akan sulit, mereka berdua tahu mereka memiliki kesempatan untuk membangun kembali apa yang telah hancur. Itu tidak akan mudah, tetapi cinta yang mereka miliki satu sama lain—dan untuk anak-anak mereka—adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.