Pisau di Balik Senyuman

Cerita yang menarik

Kera selalu percaya bahwa pengkhianatan akan datang dengan peringatan. Sesuatu yang kecil, sesuatu yang halus. Cara orang mulai menghindari tatapannya, atau perubahan nada yang terasa aneh. Tapi tidak. Pengkhianatan itu datang dengan senyuman, pelukan, dan janji persahabatan yang tak tergoyahkan.

“Aku nggak tahu harus bagaimana,” kata Kera, sambil menatap cermin dan merapikan jaket kokinya. “Aku kira dia keluargaku.”

Refleksinya menatap balik, matanya lelah dan merah karena jam-jam panjang di dapur serta kejadian-kejadian beberapa hari terakhir. Sam, sahabat terbaiknya sejak kecil, selalu menjadi penopangnya. Mereka tak terpisahkan, membangun impian bersama dalam dunia dapur mewah yang sangat kompetitif. Mereka seperti saudara perempuan, terikat oleh masa lalu yang penuh kesulitan dan ambisi.

Namun semuanya berubah pada hari posisi kepala koki diumumkan.

“Aku di sini untukmu, Kera. Apa pun yang terjadi, persahabatan kita lebih besar dari pekerjaan apa pun,” kata Sam dengan tepukan meyakinkan di tangannya. Kata-kata itu terdengar sangat tulus, sangat menghibur saat itu.

Itu sebelum Sam menjebaknya.

Pada pagi inspeksi, Kera merasa gelisah, tapi ia mengabaikannya. Sam adalah sahabat terbaiknya. Mereka berbagi segalanya. Dia tak bisa membayangkan Sam akan mengkhianatinya. Tetapi ketika Sam tidak muncul saat istirahat mereka, perasaan gelisah muncul di perut Kera.

Malam itu, setelah layanan makan malam yang sibuk, Kera sedang bekerja di stasiunnya, suara pisau dan wajan yang beradu mengisi telinganya. Saat itulah Chef Reynard masuk ke dapur, wajahnya datar seperti batu.

“Kera! Aku tidak menyangka ini darimu!” suara Chef Reynard menggema, matanya terbakar dengan ketidakpercayaan.

Ruangan menjadi sunyi. Jantung Kera berdebar kencang saat mata tajam Chef Reynard terkunci dengan matanya.

“Apa maksudmu?” Kera berhasil bertanya, suaranya hampir berbisik.

“Aku kira kamu lebih baik dari ini. Mencuri dariku… dari kami?” Suara chef terdengar menusuk udara.

Perut Kera jatuh, nafasnya terhenti sejenak. Kata-katanya tak masuk akal.

“Mencuri?” Kera terengah, kebingungan dan kepanikan menyebar seperti api.

Chef Reynard mengangkat sebuah toples kecil berisi kaviar hitam—bahan mewah yang hanya digunakan untuk klien VIP. Ini adalah jenis barang yang tak ada seorang pun di dapur yang bisa sia-siakan, apalagi mencurinya.

“Menemukan ini di tasmu,” katanya, tatapannya tidak bergeming. “Jelaskan.”

Pikiran Kera berpacu. Dia yakin dia tidak mengambilnya. Dia tidak akan pernah melakukannya. Dia telah bekerja keras untuk sampai di sini—ini adalah impiannya, dan Sam tahu betapa pentingnya ini baginya.

“Itu mustahil!” katanya, suaranya gemetar. “Aku tidak mengambil itu! Aku bersumpah, Chef! Aku tidak akan pernah!”

Tetapi protesnya tak didengar. Chef Reynard sudah berbalik ke staf lainnya, matanya memindai ruangan.

“Semua orang, ke ruang istirahat. Sekarang.”

Staf dapur keluar satu per satu, saling bertukar pandang cemas. Jantung Kera berdebar semakin kencang saat mereka memasuki ruang istirahat. Chef Reynard berdiri di depan, tangannya disilangkan, ekspresinya tidak terbaca.

“Malam ini,” katanya, suaranya dingin, “selama pemeriksaan inventaris, kami menemukan bahwa seseorang telah mencuri kaviar hitam. Tas Kera.”

Tangan Kera mulai gemetar. Dia membuka mulutnya untuk membantah lagi, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.

Sam duduk di sampingnya, tangannya terpegang erat di pangkuannya. Kera tidak bisa menatapnya. Senyum Sam yang biasa hilang, digantikan dengan ekspresi dingin dan tak terbaca. Perut Kera berputar.

Sam tahu sesuatu. Kera yakin itu. Dia tak ingat kapan terakhir kali dia merasa sekhianati seperti ini.

Chef Reynard mengeluarkan senter ultraviolet kecil, jenis yang biasa digunakan untuk mendeteksi uang palsu.

“Saya telah memberi tanda pada semua toples kaviar dengan tinta tak terlihat,” jelasnya, suaranya tenang dan tepat. “Jika seseorang menyentuh toples ini, tinta itu akan terlihat di bawah cahaya ini.”

Staf memandangi, menunggu. Chef Reynard mengarahkan senter ke toples kaviar, lalu ke tangannya sendiri. Bersih. Dia bergerak ke staf lainnya, memindai mereka satu per satu. Jantung Kera berdebar lebih keras dengan setiap pergerakan.

Tidak ada yang terlihat.

Lalu…

Sebuah cahaya samar muncul di jari seseorang.

Itu Sam.

Perut Kera terasa terbalik. Noda biru di tangan Sam menyala di bawah cahaya. Wajah Sam memucat. Dia membuka mulutnya, tetapi tak ada kata-kata yang keluar.

Kera menatapnya, hatinya hancur. Ini dia. Sam telah menjebaknya.

“Sam…” Suara Chef Reynard rendah, penuh kekecewaan. “Kamu yang mencurinya?”

“Aku… Chef…” Sam terbata-bata, tetapi wajahnya pucat, kepercayaan dirinya yang biasa hilang. “Aku tidak pernah berpikir… Aku pikir aku hanya bisa…”

“Kamu menjebaknya?” Suara Chef Reynard pecah. “Untuk sebuah promosi? Kamu menghancurkan karier sahabatmu hanya untuk ini?”

Sam melihat sekeliling, matanya panik. “Mungkin orang lain yang menyentuhnya sebelum aku,” gumamnya, mencoba membela diri.

Chef Reynard tidak berkedip. “Pergilah, Sam.”

Tanpa sepatah kata pun, Sam berdiri dengan tergesa-gesa, kursinya geser dengan keras di lantai. Dia bahkan tidak menatap Kera saat keluar dari ruangan. Langkah kakinya bergema di kesunyian.

Kera bisa merasakan perubahan suasana ruangan setelah Sam pergi. Pengkhianatan itu menghantamnya seperti mobil yang menabrak. Dia ingin jatuh, berteriak, menangis.

Tapi Chef Reynard hanya berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan tegas.

“Kera,” katanya lembut, suaranya penuh penyesalan. “Aku tidak bisa percaya ini. Kamu telah bekerja keras untuk tempat ini, untuk posisi ini.”

Dia menyerahkan sebuah kontrak—posisi barunya sebagai kepala koki.

“Tandatangani,” katanya, suaranya mantap. “Kamu telah mendapatkannya.”

Kera tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Dia telah dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi saudara perempuannya, keluarganya. Namun pada saat itu, dia menyadari bahwa Sam bukan lagi keluarganya. Dia hanya seseorang yang telah melintasi batas yang tak bisa dilewati lagi.

“Aku tidak melakukan apapun yang salah,” kata Kera, suaranya serak, tapi penuh tekad. “Tapi aku siap membuktikan bahwa aku pantas ada di sini.”

Malam itu, Kera kembali ke apartemen, hatinya berat. Dia telah mendapatkan semuanya yang dia miliki, dan sekarang dia dihadapkan dengan akibat dari pengkhianatan.

Sam sudah pergi. Kera mengetahui dari teman sekamar mereka, Jenna, bahwa Sam telah mengemas barangnya dan pergi bersama pria bernama Dylan. Pesan Sam sederhana: dia ingin lebih untuk dirinya sendiri, mencari kebahagiaan di luar bayang-bayang Kera.

Kera duduk, menarik napas dalam-dalam. Kemarahan itu membakar, tetapi dia tak akan membiarkannya menguasainya. Dia telah bekerja terlalu keras untuk membiarkan seseorang seperti Sam menariknya ke bawah.

Jika itu yang diinginkan Sam, biarlah. Kera kini memiliki masa depannya sendiri. Dan dia akan membuatnya miliknya—dengan cara yang dia tentukan sendiri.

Saat dia menatap apartemen yang kosong, Kera tahu bahwa pada akhirnya, pengkhianatan akan menyakitkan. Tapi dia juga tahu bahwa itu adalah pemicu untuk sesuatu yang lebih besar: kebebasannya.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article