Ujian Seorang Ayah

Cerita yang menarik

Matahari terik menyinari lokasi konstruksi, panasnya menekan kulit Eugene seperti beban yang tak bisa dia singkirkan. Ritme palu yang mantap menghantam kayu memenuhi udara, otot-ototnya terasa sakit setelah berjam-jam bekerja keras. Sudah enam tahun dia melakukan ini—mengangkat, membangun, dan berkeringat di bawah sinar matahari yang tak pernah mengampuni. Ini adalah pekerjaan yang berat, tapi itulah yang dia tahu.

Namun hari ini, berbeda.

Hari ini, Eugene membawa sesuatu di sakunya yang sudah bersamanya selama sepuluh tahun.

Dia berhenti sejenak, menghapus keringat dari dahinya, dan menarik sebuah amplop yang sudah usang dari sakunya. Kata-kata ayahnya terngiang di pikirannya.

“Jangan buka itu selama sepuluh tahun. Tepat sepuluh tahun. Janjikan padaku.”

Eugene menepati janji itu, tidak pernah sekalipun mengintip isi amplop tersebut. Bahkan saat malam-malam terasa panjang dan pikirannya melayang ke dalam isi yang tak diketahui. Dia telah berjanji, dan janji adalah sesuatu yang sakral.

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak ayahnya meninggal. Eugene baru berusia 15 tahun ketika ayahnya meninggal—satu-satunya keluarganya. Ibunya sudah menghilang sebelum dia cukup besar untuk mengingat wajahnya. Selalu hanya ada mereka berdua, dan kehilangan itu meninggalkan lubang yang sakit di hati Eugene.

Dia ingat malam ayahnya meninggal seolah itu terjadi kemarin. Duduk di samping ranjang rumah sakit, menggenggam tangan ayahnya yang rapuh, kata-kata terakhir ayahnya terukir jelas dalam ingatannya.

“Janji padaku kamu akan kuat, Eugene,” bisik ayahnya, suaranya hampir tak terdengar.

“Janji, Ayah,” kata Eugene dengan tenggorokan yang terasa tercekat oleh emosi.

“Janji satu hal lagi,” bisik ayahnya, matanya mencari sesuatu dalam pandangan Eugene.

Eugene mendekat, meremas tangan ayahnya. “Apa itu?”

“Jangan buka amplop itu. Jangan sampai sepuluh tahun berlalu.”

Eugene bingung, tapi dia berjanji. Janji adalah janji.

Setelah kematian ayahnya, Eugene masuk ke panti asuhan. Tempat itu bising, kacau, dan penuh dengan anak-anak yang masing-masing memiliki masalah mereka sendiri. Tapi Eugene tetap menyendiri, fokus pada masa depannya. Pada usia 18 tahun, dia meninggalkan panti asuhan dengan hanya membawa tas olahraga dan amplop yang tersegel itu.

Konstruksi adalah pekerjaan pertama yang dia temukan. Pekerjaannya berat—terkadang sangat melelahkan—tapi cukup untuk membayar tagihan. Eugene bekerja tanpa henti, tidak pernah mengeluh, selalu datang lebih awal dan pulang terlambat. Dia tidak punya gangguan, tidak ada kemewahan. Semua yang dia punya adalah janji itu.

Dan amplop itu.

Setiap malam, setelah seharian bekerja keras, Eugene akan menarik amplop itu dari lacinya dan menatapnya. Apa isinya? Surat? Wasiat terakhir? Apa pun itu, dia tahu dia tidak bisa membukanya dulu. Ayahnya memintanya untuk menunggu, dan dia akan melakukannya.

Hari itu akhirnya datang. Ulang tahun kesepuluh.

Tangan Eugene gemetar saat dia memegang amplop itu di depannya, beratnya terasa lebih dari yang dia ingat. Saatnya. Dia tak bisa menundanya lagi.

Dia duduk di meja kecil dapurnya, amplop itu gemetar di tangannya. Jantungnya berdegup kencang saat dia merobek amplop itu, napasnya tercekat.

Di dalamnya ada selembar kertas tunggal, dengan empat kata sederhana tertulis di sana.

“Temui pengacaraku. —Ayah”

Eugene menatap kata-kata itu, pikirannya berputar. Itu saja? Tidak ada penjelasan? Tidak ada pesan terakhir?

“Sungguh, Ayah?” bisiknya pada dirinya sendiri, tawa canggung keluar dari bibirnya. “Masih membuatku menunggu, ya?”

Dia meraih jaketnya, tekad tumbuh di dadanya, dan meninggalkan apartemennya.

Saat Eugene tiba di kantor pengacara, dia merasa tidak pada tempatnya dengan pakaian kerjanya yang berdebu. Resepsionis menoleh ketika dia mendekat.

“Halo, saya mencari Tuan Calloway. Nama saya Eugene—ayah saya menyuruh saya datang ke sini.”

Mata resepsionis membelalak. “Oh! Anda pasti Eugene.” Dia mengangkat telepon dan segera mendial. “Tuan Calloway, Eugene sudah di sini.”

Beberapa saat kemudian, seorang pria tua muncul di pintu. Dia tinggi, mengenakan jas abu-abu rapi, dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang. Dia memandang Eugene sejenak sebelum mengulurkan tangan dengan senyuman hangat.

“Saya sudah menunggu Anda,” katanya. “Masuklah, anak muda. Kita punya banyak yang harus dibicarakan.”

Eugene melangkah masuk ke dalam kantor, bau kulit dan buku tua tercium samar di udara. Dia duduk di depan meja besar milik Tuan Calloway, tangannya menggenggam lututnya.

Tuan Calloway menyelipkan sebuah map ke atas meja. “Ayahmu datang ke sini sebelum dia meninggal. Dia menyiapkan sesuatu yang istimewa untukmu. Sebuah ujian, bisa dibilang.”

Perut Eugene mual. “Ujian? Maksudmu apa?”

Tuan Calloway membuka map tersebut, memperlihatkan sebuah pernyataan bank. “Ayahmu meninggalkanmu sebuah rekening tabungan. Setiap sen yang bisa dia tabung. Dengan bunga, uang itu telah berkembang selama bertahun-tahun.”

Eugene terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “$400,000?”

Tuan Calloway mengangguk. “Betul. Tapi ada satu syarat.”

Eugene mendekat, jantungnya berdetak kencang. “Syarat apa?”

Ekspresi Tuan Calloway melunak. “Ayahmu ingin kamu bekerja keras selama sepuluh tahun, menjadi pria yang mengerti nilai uang yang didapat dengan kerja keras. Jika kamu membuka amplop itu lebih awal, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa.”

Eugene bersandar, berat kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan di perut. “Aku tidak… aku tidak tahu.”

Tuan Calloway tersenyum sedikit. “Itulah tujuannya. Ayahmu ingin memastikan kamu tidak mengambil jalan yang mudah.”

Pikiran Eugene berputar, tapi sebelum dia bisa berbicara, Tuan Calloway meraih sebuah amplop lain dari laci mejanya dan mengeluarkannya.

“Ada satu surat lagi dari ayahmu,” katanya, menyerahkan amplop itu kepada Eugene.

Jari-jari Eugene gemetar saat dia membukanya, jantungnya berdegup kencang di dadanya. Kata-kata di dalamnya membuat perutnya terasa terjatuh.

“Kamu telah mengecewakanku. Kamu tidak bisa membelanjakan uang yang nilainya tidak kamu ketahui.”

Eugene menatap Tuan Calloway, kebingungannya jelas terlihat di wajahnya. “Apa…?”

Tuan Calloway tersenyum kecil. “Surat itu bukan untukmu.”

Eugene terbelalak, pikirannya berusaha memproses informasi ini. “Maksudmu apa?”

Tuan Calloway mengeluarkan amplop lain dengan nama Eugene tertulis di sana.

“Ini,” katanya, menyerahkannya, “adalah suratmu.”

Eugene membukanya perlahan, jantungnya berdebar kencang. Kata-kata di dalamnya membuat semuanya tiba-tiba jelas.

“Aku bangga padamu. Sekarang kamu tahu nilai uang ini.”

Air mata menggenang di mata Eugene. “Terima kasih, Ayah.”

Eugene berdiri, merasakan gelombang rasa terima kasih yang mengalir di dalam dirinya. Uang ini, warisan ini—bukan hanya soal dolar. Ini tentang pelajaran hidup, tentang bertahun-tahun kerja keras yang membawanya ke sini. Ayahnya memberinya hadiah terbesar: kemampuan untuk membangun masa depan dengan tangannya sendiri.

Saat dia melangkah keluar dari kantor pengacara, Eugene tahu persis apa yang akan dia lakukan. Dia akan memulai bisnis konstruksinya sendiri, membangun sesuatu yang miliknya, dan mempekerjakan orang-orang yang baik dan jujur—seperti yang ayahnya inginkan.

Dengan surat itu masih tergenggam di tangannya, Eugene menatap langit, merasa lebih ringan daripada yang dia rasakan selama bertahun-tahun.

“Aku bangga padamu.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Eugene tersenyum.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article