Teresa selalu percaya bahwa hidup bersama Shawn, kekasih masa SMA-nya, akan menjadi impian yang selalu ia bayangkan. Sejak pertama kali mereka bertemu—Shawn, atlet yang menawan dan ambisius, dan Teresa, gadis manis dan penuh harapan—mereka tak terpisahkan. Bersama, mereka membayangkan kehidupan yang penuh cinta, petualangan, dan kemungkinan tak terbatas. Namun, impian itu, seperti yang sering terjadi, berubah seiring waktu.
“Shawn, kita perlu bicara tentang masa depan kita,” kata Teresa suatu malam, duduk di seberang meja dapur mereka yang sederhana. Shawn baru saja pulang setelah seharian bekerja di pabrik, matanya lelah dan tampak jauh.
“Nanti saja,” jawab Shawn dengan suara datar sambil menyalakan TV. “Aku capek.”
“Nanti” itu tidak pernah datang. Selama beberapa tahun berikutnya, pria yang dulu sangat ia cintai mulai menghilang. Ambisi Shawn memudar, digantikan oleh rutinitas yang menguras hidup mereka. Bahkan ketika Teresa mencoba untuk menghidupkan kembali api cinta mereka, pria yang ia cintai perlahan-lahan terlepas darinya seperti pasir.
“Aku nggak bisa terus begini,” bisik Teresa suatu malam, setelah perdebatan lain tentang kurangnya semangat Shawn. “Aku akan mengajukan perceraian.”
Wajah Shawn jatuh. “Kamu nggak serius kan?” tanyanya, suaranya penuh ketidakpercayaan.
Tapi Teresa memang serius. Dia mengemas barang-barangnya keesokan harinya dan pergi, hati hancur namun teguh.
Perceraian itu adalah pukulan pertama, tetapi itu tak seberapa dibandingkan dengan badai yang datang setelah keluarga Shawn ikut campur. Hidup Teresa dengan cepat berubah menjadi mimpi buruk.
Ibu Shawn, Diane, memimpin kampanye fitnah yang menghancurkan reputasinya. Bisikan-bisikan tersebar seperti api di kota kecil mereka. “Teresa seorang pengkhianat,” kata mereka, “Dia yang menghancurkan hati Shawn.” Diane bahkan sampai merusak mobil Teresa, menggoreskan kata-kata kotor di permukaannya suatu malam.
Ketika Teresa pulang suatu hari dan mendapati grafiti kebencian tersebar di pintu rumahnya, dia merasa seperti tercekik. Teror itu tidak berhenti di situ. Saudara laki-laki Diane, seorang pria besar yang marah, muncul di tempat kerja Teresa, berteriak dengan tuduhan dan menyebabkan keributan yang membuat Teresa langsung dipecat.
Isolasi itu tak tertahankan. “Tidak ada yang mempercayai aku,” pikirnya, sambil menatap pantulan dirinya di cermin, wanita yang dulu dia kenal hampir tak dapat dikenali lagi.
Suatu sore yang dingin, ketika Teresa sedang duduk di sofa, bel pintu berbunyi. Ragu namun penasaran, dia membukanya, hanya untuk mendapati Shawn, ibunya Diane, dan kedua saudara laki-lakinya berdiri di depan pintunya.
“Teresa, tolong, kami datang untuk meminta maaf,” kata Diane dengan suara gemetar, air mata mengalir di pipinya.
Teresa terdiam, tak bisa berkata-kata. Setelah semua yang mereka lakukan padanya, mereka sekarang datang untuk meminta pengampunan? Dia sangat terkejut.
“Apa ini? Kenapa sekarang?” tanya Teresa, suaranya penuh ketidakpercayaan.
Shawn, wajahnya dipenuhi penyesalan, melangkah maju. “Kami salah, Teresa,” katanya pelan. “Aku… aku salah. Dan begitu juga yang lain.”
Hati Teresa berdebar kencang. “Kalian pikir meminta maaf bisa membuat semuanya hilang begitu saja?” tanyanya, suaranya bergetar. “Setelah semuanya?”
Air mata mengalir di wajah Diane saat dia memohon, “Kami tahu itu tidak cukup, tapi kami ingin memperbaiki semuanya. Tolong, Teresa, kami akan melakukan apapun.”
“Aku… aku nggak tahu apakah aku bisa mempercayaimu,” kata Teresa, menyilangkan tangan di dada sebagai pertahanan. “Kenapa perubahan hati yang mendadak ini?”
Sebelum ada yang bisa menjawab, ayah Shawn, John, menelepon Teresa. Suaranya tegas dan serius. “Aku baru saja tahu tentang semua yang telah dilakukan keluargaku,” katanya. “Aku malu pada mereka. Jika mereka tidak memperbaiki semuanya, aku akan memutuskan hubungan dengan mereka. Ini bukan cara aku mendidik mereka.”
Kata-kata John membuat segalanya menjadi jelas bagi Teresa. Permintaan maaf itu bukan hanya tentang penyesalan—itu tentang kelangsungan hidup. Tapi ada sesuatu dalam suaranya, ketulusan yang membuat Teresa ragu sejenak.
“Mereka dipaksa untuk melakukan ini, bukan?” tanya Teresa, suaranya pelan, dengan sedikit pemahaman mulai muncul.
“Ya,” jawab John. “Tapi aku percaya mereka benar-benar menyesal. Aku telah mengatur agar mereka meminta maaf secara terbuka, memperbaiki kerusakan yang telah mereka sebabkan, dan memberi kompensasi atas pemecatanmu. Aku akan memastikan mereka melakukannya.”
Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Teresa merasakan secercah harapan.
Beberapa hari berikutnya terasa surreal. Shawn dan keluarganya menepati janji mereka. Mereka meminta maaf secara terbuka di depan kota mereka, mengakui kesalahan mereka. Itu adalah pengalaman yang menyakitkan bagi Teresa, tetapi juga melegakan. Kerusakan telah terjadi, tetapi sekarang, dia akhirnya bisa mulai sembuh.
“Aku minta maaf, Teresa,” kata Shawn pelan setelah permintaan maaf publik. “Aku nggak mengharapkan kamu untuk memaafkanku segera, tapi aku ingin menebusnya.”
Teresa mengangguk, hatinya masih bingung. “Ini akan butuh waktu,” jawabnya lembut. “Tapi aku menghargai usaha kamu.”
Mereka membantu memperbaiki mobilnya, bahkan menemukan pekerjaan baru untuknya. Perlahan, beban yang telah membuat hidupnya sesak mulai terangkat. Itu bukan hanya tentang permintaan maaf atau kompensasi—itu tentang merebut kembali kedamaian hatinya.
“Aku akhirnya bisa bernapas lagi,” bisik Teresa pada dirinya sendiri saat dia berdiri di dekat jendela, menatap cakrawala. Mimpi buruk itu sudah berakhir, dan dia siap melanjutkan hidup, lebih kuat dan lebih percaya diri dari sebelumnya.