Beberapa hari terakhir ini cukup sulit bagi Mia. Jatuh dari tangga membuat kakinya patah dan harga dirinya terluka. Itu adalah jenis kecelakaan yang membuatnya terbaring di ranjang rumah sakit yang steril, menatap langit-langit dan bertanya-tanya bagaimana bisa sesuatu yang dimulai dengan “membersihkan rutin” berubah menjadi “patah tulang” begitu cepat. Dia berusaha untuk tidak membuat keributan. Lagipula, suaminya sedang dalam perjalanan kerja, dan dia tidak ingin membuatnya khawatir tanpa alasan. Jadi, ketika dia menyadari bahwa dia tidak bisa berdiri, dia berusaha menelepon ambulans sendiri. Tidak masalah. Hanya sebuah kaki, kan?
Dia menghabiskan dua hari yang panjang di rumah sakit, terbaring dalam pengawasan sementara dokter memeriksa penyembuhannya. Meski tidak nyaman, dia berusaha memanfaatkan situasi sebaik mungkin. Dia merasa terhubung dengan seorang perawat bernama Ellie, seorang wanita muda dengan senyum ramah dan tawa yang menular. Mereka mengobrol tentang segala hal—kehidupan, hubungan, bahkan film favorit. Mia merasa bersyukur dengan distraksi itu.
Suatu sore, Ellie masuk ke kamarnya untuk menyesuaikan infusnya. Mia melihat sesuatu di pergelangan tangan perawat itu—sebuah gelang emas dengan liontin berbentuk hati. Mia mengenalinya dengan segera. Itu adalah gelang miliknya.
Gelang neneknya.
Gelang itu hilang dari lemari pakaian Mia sekitar sebulan yang lalu, dan dia sangat terpukul. Gelang itu adalah salah satu barang paling berharga yang dimilikinya—sesuatu yang diberikan neneknya sebelum dia meninggal. Pikiran bahwa ada orang yang mengambilnya dari Mia terlalu sulit untuk diterima.
Mia terdiam sejenak, lalu menunjuk ke pergelangan tangan Ellie, jantungnya berdebar kencang. “Tunggu… Dari mana kamu dapatkan itu?”
Ellie melihat gelang itu, sedikit tersenyum, namun ekspresinya berubah, seolah bingung bagaimana menjawab. “Oh… seseorang memberikannya padaku sebagai hadiah.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Mia merasa kedinginan di tulang punggungnya.
“Siapa yang memberikannya padamu?” Mia bertanya, suaranya hampir berbisik. Dia berusaha untuk terdengar santai, tetapi terkejut jelas terlihat di matanya.
Ellie ragu sejenak, kemudian menatap gelang itu, jari-jarinya menyentuh liontin tersebut. “Itu… seorang teman. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi mereka memberikannya padaku begitu saja, bilang kalau itu sangat berarti baginya.”
Pikiran Mia berputar cepat. Seorang teman? Dia tidak pernah melihat Ellie dengan “teman-teman” yang mengunjunginya di rumah sakit, dan tentu saja, tidak ada yang memberikannya hadiah seperti itu. Denyut nadinya semakin cepat, dan dia berjuang keras untuk menyembunyikan kepanikan yang mulai muncul.
“Itu aneh…” kata Mia, kata-katanya terhenti. Dia merasa darah bergejolak di telinganya, tatapannya terfokus pada gelang itu, hampir seperti benda itu mengejeknya.
Ellie tampaknya merasakan perubahan atmosfer tersebut. Dia tersenyum canggung. “Aku tahu ini agak aneh, tapi… aku sangat suka gelang itu, dan rasanya sangat pribadi. Aku tidak terlalu banyak bertanya sih.”
Mia tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak pernah membayangkan bahwa perawat yang merawatnya bisa terhubung dengan hilangnya sesuatu yang begitu berharga. Gelang itu hilang dari lemari pakaian Mia sebulan yang lalu, dan dia sudah mencarinya ke mana-mana. Bahkan dia sempat menyalahkan suaminya karena mungkin secara tidak sengaja meletakkannya di tempat yang salah. Tapi sekarang, melihat gelang itu di pergelangan tangan Ellie, potongan-potongan teka-teki mulai terangkai dengan cara yang tidak ingin Mia terima.
“Kamu tidak berpikir… mungkin seseorang memberikannya padamu secara tidak sengaja, kan?” Mia mencoba terdengar tenang, namun kata-katanya terasa asing di mulutnya. Kemungkinan bahwa Ellie mungkin telah mengambilnya—baik sengaja atau tidak—terlalu berat untuk diterima.
Ellie kini terlihat tidak nyaman, bergeser dari satu kaki ke kaki lainnya. Dia menghindari tatapan Mia. “Aku… aku rasa itu bukan kesalahan.”
Jantung Mia jatuh. Itu datang begitu saja, seperti ombak besar: Ellie sedang menyembunyikan sesuatu. Gelang itu bukan hadiah—itu dicuri.
“Ellie…” suara Mia tercekat. “Gelang itu… milikku. Itu milik nenekku. Itu hilang sebulan yang lalu dari lemari pakaian ku.”
Wajah Ellie berubah pucat, matanya berkeliling ruangan, seolah mencari jalan keluar. “Aku… aku tidak tahu, Mia. Aku bersumpah. Aku tidak tahu itu milikmu.”
Mia terdiam, napasnya tercekat di tenggorokan. Dia ingin mengatakan sesuatu, berteriak, menuduhnya. Tapi yang keluar hanya napas yang terengah-engah. Dia tidak punya bukti, hanya perasaan mengerikan yang menggerogoti perutnya.
“Aku benar-benar minta maaf,” kata Ellie dengan suara gemetar. “Aku tidak bermaksud… mengambil sesuatu yang bukan milikku.”
Pikiran Mia berputar, pikirannya kabur. Dia ingin berteriak pada Ellie, meminta penjelasan, tapi sebaliknya, dia hanya menatap gelang itu. Dia merasa dikhianati—oleh seseorang yang sudah dia percayai dalam keadaan rentannya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Mia membalikkan tubuh, menatap keluar jendela. Suara-suara rumah sakit—bunyi mesin, gumaman suara-suara yang jauh—seakan terasa jauh sekarang. Semua terasa begitu tidak nyata.
“Aku akan mengembalikannya,” kata Ellie pelan, namun Mia tidak yakin apakah dia masih mendengarnya. Dia tidak tahu bagaimana harus memproses apa yang baru saja terjadi. Gelang kesayangannya, satu-satunya kenang-kenangan dari neneknya yang masih dia miliki, ternyata sudah ada di depan matanya sepanjang waktu. Dan sekarang, itu selamanya ternoda oleh tangan perawat yang merawatnya.
Bukan hanya gelang itu yang dicuri—tetapi juga rasa kepercayaannya. Dan Mia tidak yakin bagaimana cara mendapatkannya kembali.