Kebenaran Bayi

Cerita yang menarik

Matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya keemasan melalui jendela rumah sakit. Sarah, yang kelelahan namun berseri dengan kebahagiaan, terbaring di tempat tidur, memeluk putranya yang baru lahir. Sudah dua puluh tahun—dua puluh tahun penuh perjuangan, harapan yang sering kali sirna, dan berbagai perawatan yang tampaknya tidak membuahkan hasil. Tetapi kini, di usia 40 tahun, akhirnya itu terjadi. Dia menjadi seorang ibu.

Perawat baru saja keluar, meninggalkan Sarah dan bayinya sendirian di kamar. Sarah menatap putranya, hatinya dipenuhi dengan kasih sayang. Keajaiban kecil ini adalah segala yang dia inginkan. Dia telah bermimpi tentang momen ini begitu lama, dan kini, itu menjadi nyata.

Namun, tiba-tiba pintu berbunyi, dan suaminya, Greg, masuk ke dalam. Wajahnya pucat, matanya terbuka lebar dengan kecemasan. Dia telah mondar-mandir di ruang tunggu selama berjam-jam, terlalu gugup untuk berada di samping Sarah saat proses kelahiran. Sarah mengerti—dia memang tidak terlalu suka dengan rumah sakit atau hal-hal yang melibatkan banyak emosi. Dia adalah pria yang mengutamakan fakta, rasionalitas.

Greg mendekati tempat tidur perlahan, matanya melirik antara Sarah dan bayi yang ada di pelukannya. Dia berdiri diam sejenak, sebelum menarik napas dalam-dalam.

“Dia sempurna, kan?” Sarah berbisik, suaranya penuh keajaiban saat dia menatap Greg.

Greg mengangguk, namun tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, dia melangkah perlahan mendekat. Dia menatap bayi itu, lalu kembali ke arah Sarah, ekspresinya sulit dibaca.

“Dia… dia milik kita, kan?” Sarah berkata dengan lembut, seolah-olah dia perlu meyakinkan dirinya sendiri.

Greg tidak menjawab. Sebaliknya, pandangannya masih terfokus pada bayi itu, wajahnya semakin tegang. Sarah memperhatikannya, perasaan cemas mulai merayapi dadanya.

“Greg?” tanya Sarah, suaranya sedikit gemetar.

Dia bergeser, menatap kembali ke Sarah, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatnya merasa seperti ditampar.

“APAKAH KAMU PASTI BAYI INI MILIKKU?”

Ruangan terasa membeku. Sarah terbelalak, berusaha memproses apa yang baru saja didengarnya. Dia menatap Greg, tak bisa berbicara pada awalnya.

“Apa… apa yang baru saja kamu katakan?” bisiknya, jantungnya berdebar kencang.

Greg mundur selangkah, tangannya gemetar saat ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan selembar kertas kecil. Dia membuka kertas itu perlahan, matanya tak pernah lepas dari bayi tersebut.

“Aku punya bukti yang mengatakan sebaliknya,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, sambil mengangkat kertas itu. Tampaknya itu adalah laporan medis.

Sarah merasa seolah-olah dunia di sekitarnya runtuh. Tenggorokannya kering, dan ia hampir tidak bisa mengucapkan kata-kata. “Apa maksudmu? Greg, kita sudah melalui ini bersama, bertahun-tahun dengan perawatan dan dokter-dokter. Bagaimana kamu bisa—”

Greg mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Sarah. “Aku tidak tahu. Tapi ini yang diberitahukan klinik padaku.” Dia melirik kembali ke kertas itu, suaranya mereda. “Aku… aku melakukan tes DNA diam-diam, Sarah. Aku perlu memastikan.”

Guncangan itu menghantam Sarah bagaikan ombak besar. “Kamu apa?” dia terengah-engah. “Kenapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu tidak mempercayai aku? Setelah semua yang kita jalani?”

Greg terdiam, namun pandangannya tetap terfokus pada bayi itu. “Aku tidak berpikir aku perlu melakukannya juga. Tapi setelah semua waktu ini, setelah segala usaha kita—” Dia menelan ludah, tampak seperti ingin menangis. “Aku hanya… aku perlu tahu. Kamu begitu bertekad untuk mewujudkannya, dan aku… aku jadi takut. Bagaimana jika… bagaimana jika bayi ini bukan milikku?”

Pikiran Sarah berputar cepat. Gagasan bahwa dia meragukan dirinya, menuduhnya melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan, jauh melampaui apa yang bisa dia bayangkan. Dia telah menghabiskan bertahun-tahun mencintai dan mempercayai Greg, dan kini dia meragukan dirinya setelah semua tahun perjuangan mereka.

Air mata menggenang di mata Sarah saat ia memeluk bayi itu lebih erat. “Bagaimana bisa kamu berpikir begitu? Bagaimana kamu bisa meragukanku seperti itu, Greg? Apa kamu pikir aku akan melakukan itu padamu?”

Greg tampak ragu, matanya semakin lembut melihat luka di wajah Sarah. Dia melangkah maju, tetapi Sarah menarik diri, memeluk bayi itu dengan erat seolah ia bisa melindunginya dari tuduhan tersebut.

“Aku minta maaf,” kata Greg dengan suara pelan. “Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya… aku panik. Ini seharusnya menjadi impian kita, Sarah. Dan sekarang, aku takut semuanya akan hancur.”

Tangan Sarah gemetar saat ia menghapus air mata di pipinya. Dia menatap putranya, yang sedang tertidur nyenyak di pelukannya. Dia telah menunggu dua puluh tahun untuk momen ini—dua puluh tahun penuh harapan dan doa. Dan sekarang, saatnya baginya untuk memutuskan bagaimana menghadapi ini.

Mengambil napas dalam-dalam, Sarah mengulurkan bayi itu ke arah Greg. “Kamu ingin bukti?” tanyanya, suaranya mantap meski air mata masih membasahi pipinya. “Lihatlah dia. Ini anak kita. Dia milik kita, Greg. Semua yang kita jalani—semua yang kita perjuangkan—semuanya ada di sini. Jangan biarkan ketakutan menghancurkan apa yang kita miliki.”

Greg berdiri di sana, kertas masih di tangannya, menatap bayi yang ada di pelukan Sarah. Ekspresinya melunak, dan untuk sesaat, seolah-olah dia benar-benar melihat anak laki-laki yang mereka ciptakan bersama. Dia menelan ludah, dadanya terangkat dan turun penuh emosi.

“Kamu benar,” akhirnya dia berkata, suaranya serak. “Aku… aku minta maaf, Sarah. Aku tidak seharusnya meragukanmu. Bayi ini milik kita, dan aku sangat terharu. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.”

Sarah mengangguk, hatinya masih terasa sakit, namun dia tahu mereka akan menghadapinya bersama. Dia selalu percaya pada mereka. Pada cinta mereka. Dan pada keajaiban yang telah mereka ciptakan.

“Tidak apa-apa,” bisiknya. “Kita akan hadapi ini bersama.”

Dan dengan itu, Greg melangkah maju dengan hati-hati, perlahan mengulurkan tangan untuk mengambil anak mereka. Bayi itu bergerak sedikit, namun tetap tertidur lelap, tidak sadar akan badai yang baru saja melanda antara kedua orang tuanya.

Saat Greg memeluk putra mereka untuk pertama kalinya, air mata mengalir di matanya. “Aku sangat menyesal,” bisiknya, menatap wajah kecil itu. “Aku cinta kalian berdua. Aku janji, tidak akan ada keraguan lagi. Hanya cinta.”

Sarah tersenyum, merasakan beban tahun-tahun yang lalu akhirnya terangkat. Perjalanan itu panjang dan penuh rasa sakit, tetapi kini, dengan putra mereka di pelukan, mereka memiliki semua yang pernah mereka impikan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia tahu bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, mereka akan menghadapinya bersama.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article