Carly selalu suka berada di sekitar ibunya. Mereka adalah sahabat terbaik, dan dia menghargai setiap momen yang mereka habiskan bersama. Jadi, ketika ibunya, dengan senyuman meyakinkan, menyuruhnya menunggu di tangga depan gereja tua, Carly tidak ragu.
“Carly, dengar ya. Kamu tunggu di sini, dan mama akan segera kembali!” kata ibunya, menyisir helai rambut dari wajah Carly.
“Baik, mama!” jawab Carly dengan antusias, tangannya yang kecil memegang boneka dengan erat sambil melambaikan tangan ke ibunya.
Mobil ibunya meluncur pergi, dan Carly menyaksikan mobil itu menghilang di jalan, merasa ada sedikit kegugupan di dadanya. Namun, dia tidak terlalu memikirkannya. Ibunya selalu kembali seperti yang dijanjikan, lagipula. Jadi Carly duduk di tangga yang dingin, menatap langit biru, membiarkan hangatnya sinar matahari menyerap ke kulitnya.
Menit demi menit berlalu. Lalu, satu jam. Carly merasa sedikit tidak nyaman. Mulutnya terasa kering, dan matahari semakin terasa panas setiap menitnya. Dia melihat ke atas jalan, setengah mengharapkan ibunya kembali dengan mobilnya, namun jalan itu tetap kosong. Kaki kecil Carly menendang-nendang pelan kerikil di bawahnya, dan matanya mulai terasa berat.
Dia menunggu.
Jam-jam berlalu. Pasti sudah berjam-jam, kan? Perut Carly keroncongan, tetapi rasa hauslah yang lebih mengganggunya. Dia menyipitkan mata menatap matahari, tubuh kecilnya mulai merasakan panas semakin intens. Dia haus. Sangat haus. Sebuah gelombang pusing mulai melanda tubuhnya, tetapi tetap saja, Carly bertahan di tempat, memegang bonekanya lebih erat, berharap ibunya segera kembali.
Waktu terasa kabur, dan kepala Carly mulai kabur. Dia berusaha untuk tetap membuka matanya, tetapi dunia di sekitarnya mulai berputar. Tepat saat dia hampir terjatuh ke dalam ketidaksadaran, sebuah sosok muncul—kabur pada awalnya, seperti bayangan.
Suara hangat yang tidak dikenal memotong kebingungannya.
“Ya Tuhan… Anak kecil, apa yang kamu lakukan di sini?!”
Suara wanita itu penuh dengan kekhawatiran, dan Carly berkedip cepat, mencoba untuk fokus. Dia hampir tidak bisa membedakan bentuk seorang wanita yang berdiri di depannya, melindungi dirinya dari sinar matahari yang terik dengan tubuhnya.
Bibirmu yang kering terbelah, namun tidak ada kata yang keluar. Sebaliknya, dia berkedip lagi, merasa seolah-olah tubuhnya terbuat dari batu. “Saya… saya sedang menunggu mama saya,” bisiknya lemah, suaranya hampir tidak terdengar.
Wanita itu terkejut, merunduk ke level Carly. “Mama kamu?” Wajahnya melunak dengan rasa tak percaya, saat dia melihat sekeliling, mencari tanda-tanda mobil atau seseorang di sekitar. Namun tidak ada siapa-siapa. Dia menatap kembali Carly, matanya penuh dengan rasa iba dan kekhawatiran. “Sayang, sudah berjam-jam. Di mana mama kamu sekarang?”
Carly mengerutkan kening, mencoba berpikir. “Dia bilang dia akan kembali sebentar lagi… saya tidak tahu… saya sudah menunggu.”
Wanita itu dengan lembut mengangkat Carly ke pelukannya, memeluknya erat di dadanya. “Kasihan sekali kamu.” Dia mengusap dahi Carly yang panas dan lengket. “Mari kita bawa kamu ke tempat yang lebih sejuk, ya? Kamu sudah terlalu lama di luar sini.”
Wanita itu dengan cepat membawa Carly ke tempat teduh di pintu gereja, pikirannya berputar. Dia tidak yakin apa yang terjadi, tetapi satu hal yang pasti: Carly seharusnya tidak dibiarkan di sini sendirian. Dia mencatat dalam pikirannya untuk menghubungi pihak berwenang segera.
Wanita itu berlutut dan dudukkan Carly di tanah, berusaha menjaga agar dia tetap dingin. “Mama kamu ke mana, sayang? Mungkin di dalam mobil?”
Carly menggelengkan kepala perlahan. “Dia pergi… dia bilang dia akan segera kembali…”
“Segera kembali…” wanita itu bergumam, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Kamu berani sekali, nak. Ayo kita beri kamu air dulu.”
Wanita itu mengeluarkan ponselnya, menelpon kantor polisi lokal. “Halo, saya punya seorang gadis kecil di Gereja St. Martin. Dia ditinggalkan, dan kami tidak bisa menemukan ibunya…”
Sementara wanita itu berbicara, mata Carly terpejam, dan untuk sesaat, dunia di sekitarnya terasa hening.
Saat dia membuka matanya lagi, seorang polisi sudah berlutut di depannya, menawarkan sebotol air dingin. “Hei, nak,” katanya dengan suara lembut, tenang. “Kita akan membawa kamu pulang, oke? Minum dulu ya.”
Carly, yang kini lebih sadar dengan apa yang sedang terjadi, menerima air tersebut dengan rasa syukur, tangannya yang kecil bergetar saat memegang botol. “Di mana mama saya?” tanya Carly dengan suara kecil.
Petugas itu saling bertukar pandang dengan wanita itu, yang masih berdiri di dekatnya, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kami akan menemukannya,” kata petugas itu dengan lembut. “Kamu aman sekarang, sayang.”
Carly mengangguk, tetapi kekhawatiran di hatinya tak juga hilang. Mama-nya berjanji akan kembali. Kenapa dia tidak kembali? Apa yang sedang terjadi?
Wanita itu, yang masih berada di sisi Carly, dengan lembut mengusap air mata yang menetes di pipi Carly. “Kami akan menemui mama kamu, saya janji,” katanya, suaranya lembut tetapi penuh tekad.
Dan seiring berjalannya waktu, Sophie—yang sedang bekerja di sisi kota yang lain—tiba dalam keadaan panik. Ketika dia melihat mobil petugas parkir di depan gereja, hatinya langsung terjatuh. Dia berlari keluar dari mobilnya dan mendekati petugas, bertanya dengan nada cemas, “Di mana dia? Anak saya, Carly!”
“Apakah Anda ibunya?” tanya petugas itu, wajahnya melunak saat melihatnya.
Sophie mengangguk cepat, air mata mengalir deras di wajahnya. “Ya, ya, saya ibunya. Saya… saya tidak bermaksud meninggalkannya. Saya pikir hanya sebentar.”
Sophie jatuh berlutut di samping Carly, memeluk anaknya erat-erat. “Maafkan mama, Carly. Mama tidak akan meninggalkanmu lagi.”
Carly menatap ibunya, matanya yang lelah berkedip bingung. “Mama, kenapa mama lama sekali?”
Sophie terisak, mencium kening putrinya. “Saya tidak tahu, sayang. Tapi mama sudah kembali, mama ada di sini sekarang.”
Wanita itu mengamati dari kejauhan, merasa lega bahwa ibu dan anak itu akhirnya dipertemukan kembali. Ketika Sophie dengan lembut mengayun Carly di pelukannya, wanita itu memberi mereka pandangan terakhir yang penuh pengertian sebelum berjalan pergi, meninggalkan mereka berdua untuk memperbaiki jarak yang telah terbentuk di hati mereka.
Itulah momen harapan, sebuah pengingat bahwa tidak peduli seberapa hilang seseorang merasa, kebaikan orang lain terkadang bisa menjadi jembatan yang membawa mereka kembali ke tempat yang seharusnya mereka berada.