Harga Kepercayaan

Cerita yang menarik

Belle selalu percaya bahwa hidupnya biasa saja. Dia memiliki pekerjaan yang stabil, rumah bersama suaminya, Jeffrey, dan dua anak mereka, Gemma dan Gavin. Rumah yang mereka tinggali dibangun dari kerja keras bertahun-tahun, menjadi sedikit kestabilan mereka di dunia yang tak menentu. Keuangan mereka sederhana: Belle mengurus belanjaan dan utilitas, sementara Jeffrey membayar hipotek. Semuanya terasa masuk akal. Itu berjalan dengan baik.

Namun suatu sore yang menentukan, tanah di bawah kakinya terlepas begitu saja.

Belle pulang dari pekerjaan, membawa wadah makanan dari restoran cepat saji di satu tangan dan rasa normalitas di tangan lainnya. Namun, ketika ia mencapai pintu, hatinya terjatuh. Di sana, tergantung di pintu depan, ada surat penggusuran.

Nafasnya tertahan di dada. “Tidak… ini pasti kesalahan,” bisiknya pada diri sendiri.

Kertas itu dingin dan resmi, menuntut properti mereka disita dalam 30 hari. Kakinya gemetar, dan wadah makanan terlepas dari genggamannya, jatuh berderak ke lantai. Apa yang sedang terjadi? Jeffrey selalu mengurus hipotek. Mereka tak pernah terlambat membayar. Atau setidaknya, itu yang dia kira.

Dia buru-buru masuk, menggenggam surat itu seperti itu lelucon mengerikan yang akan terungkap dengan sekali lihat.

“Mama, kamu dapat makan malam?” suara Gavin memecah lamunannya.

“Iya, ada di dapur. Ambil saja, aku akan tunggu Papa,” jawabnya, suaranya gemetar.

Di dalam dapur, pikiran Belle berputar. Bagaimana ini bisa terjadi? Di mana semuanya salah? Jarinya gemetar saat meletakkan surat penggusuran di atas meja dapur. Jeffrey sudah berjanji semuanya baik-baik saja. Dia sudah meyakinkannya selama berbulan-bulan bahwa hipotek sudah dibayar.

Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Jeffrey masuk, tanpa tahu badai yang sedang mengancam di balik mata Belle.

“Hai, sayang,” kata Jeffrey, terlihat sedikit kusut. “Maaf, aku terlambat. Tertahan di kantor.”

Belle berbalik menatapnya, jantungnya berdebar. Tanpa berkedip, dia langsung mengarahkan surat penggusuran ke arahnya.

“Apa ini?” Suaranya stabil, meski detak jantungnya semakin cepat.

Wajah Jeffrey memucat. Jarinya menggenggam kertas itu, namun ia tak segera berkata-kata. Matanya berkelit, tak bisa menatapnya. Akhirnya, dia tertawa, tapi tawa itu dipaksakan, kaku. “Itu… itu nggak apa-apa, kok. Hanya masalah kecil. Jangan panik, ya?”

“Jangan panik?!” Suara Belle tercekat. “Kita hampir kehilangan rumah! Apa yang kamu lakukan, Jeffrey?”

Dia menghela napas, mengusap wajahnya. “Ini hanya masalah sementara, Belle. Masalah keuangan, tapi aku akan memperbaikinya. Aku janji.”

“Masalah keuangan? Sudah berapa lama ini terjadi, Jeffrey?” Detak jantung Belle semakin keras di telinga.

“Beberapa bulan,” jawabnya, menghindari tatapannya. “Hanya beberapa bulan… aku janji, aku sedang memperbaikinya.”

“Beberapa bulan?” Belle mengulang kata-kata itu, seolah seperti tamparan dingin. “Masalah keuangan apa? Kamu berjudi lagi?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, pengingat yang menyakitkan tentang kebiasaan buruknya di masa lalu. Dia pernah menjadi penjudi sebelum mereka menikah, namun sudah berjanji akan berhenti.

Jeffrey ragu-ragu, merapikan rambutnya. “Ini rumit. Nggak seperti itu. Ini hanya masa sulit. Kamu tahu kan?”

Rumit. Kata itu memutar sesuatu di dalam dirinya, mengirimkan rasa dingin di tulangnya. Apa yang dia lakukan? Apakah ini salah satu dari rahasianya? Keluarga kedua? Masalah narkoba? Belle tidak bisa menahan ketakutan terburuknya.

“Aku akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Belle dengan dingin, suaranya bergetar.

Malam itu, saat Jeffrey tertidur, Belle tak bisa mengusir perasaan bahwa ada sesuatu yang sangat, sangat salah. Dengan diam-diam, dia mengambil ponsel Jeffrey dari meja samping tempat tidur dan membukanya, berharap menemukan jawaban, meskipun rasa cemas mulai menggerogoti perutnya.

Apa yang dia temukan membuat darahnya beku.

Di layar, ada Vanessa. Seorang wanita yang namanya belum pernah ia dengar sebelumnya, namun sekarang tampaknya sudah menyusup ke setiap bagian kehidupan Jeffrey.

Pesan-pesan mereka memenuhi ponsel itu—kata-kata manis, janji akan kekayaan, masa depan yang sedang mereka bangun bersama. Namun ada lebih dari itu. Banyak sekali transfer uang. Jumlah besar.

Nafas Belle terhenti. Dia mulai merangkai semuanya. Jeffrey tidak membayar hipotek. Tidak, dia mengirim uang ke Vanessa. Ribuan dolar. Setiap minggu.

“Bagaimana bisa, Jeffrey?” bisik Belle pada dirinya sendiri, pengkhianatan itu menyayatnya bagaikan pisau.

Dia terus menggulir, dan di sana ada tawaran yang terlalu menggoda untuk ditolak. Vanessa menjanjikan kekayaan, kesuksesan, kehidupan baru. Semua yang harus dilakukan Jeffrey adalah berinvestasi di perusahaan ayahnya. Dan dia melakukannya. Tapi alih-alih menyelamatkan rumah mereka, dia mengirim uang ke penipu, sementara Belle tetap dalam kegelapan.

Tanpa ragu, Belle mengetik nama Vanessa di Google. Artikel demi artikel muncul. Peringatan. Pemberitahuan. Dia seorang penipu ulung, ahli dalam manipulasi. Dan Jeffrey jatuh ke dalam jebakannya.

Begitu pagi datang, Belle sudah memiliki semua yang dibutuhkan. Bukti. Kebenaran.

Dia tidak membangunkan Jeffrey. Dia hanya duduk dalam keheningan pagi, membiarkan semuanya meresap.

Kemudian hari itu, dia duduk di hadapan pengacaranya, Hank. Dia mendengarkan dengan seksama saat Belle menjelaskan semuanya, kehancuran tampak jelas di matanya.

“Ini bakal sulit,” kata Hank, menggelengkan kepala. “Tapi kamu mungkin punya kesempatan untuk menyelamatkan rumah. Kalau kamu bisa melunasi pembayaran dengan cepat, mungkin masih ada peluang.”

Berita buruk datang sesudahnya. Tabungan yang mereka susun dengan keras? Habis. Jeffrey sudah mengurasnya semua. Tapi Belle tidak akan membiarkan dia lepas begitu saja. Tidak sekarang.

Malam itu, Jeffrey kembali pulang larut. Dia melepas sepatu, berharap malam yang tenang.

“Hai, sayang,” sapa Jeffrey, melepas dasinya. “Gimana harimu?”

Belle tidak menjawab. Sebaliknya, dia mendorong bukti itu ke arahnya, menyaksikan wajahnya memucat.

“Apa ini?” Suara Jeffrey bergetar.

“Kamu bilang, Jeffrey,” kata Belle, berdiri tegak. “Kamu membiarkan kita digusur hanya untuk mendanai kehidupan selingkuhanmu?”

Jeffrey terbelalak, matanya melirik bukti di atas meja dan tatapannya yang marah. “Aku… aku bisa jelaskan.”

Namun sebelum dia bisa berkata lebih banyak, dua petugas polisi muncul, memperlihatkan bahwa Belle telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengakhiri semua ini.

Tak lama, beratnya keadaan menimpa Jeffrey. Vanessa telah menipunya. Dan dia telah kehilangan segalanya.

“Vanessa nggak pernah mencintaimu,” kata salah satu petugas polisi. “Dia menipumu, Jeffrey. Dan sekarang, kamu akan membantu kami menangkapnya.”

Seminggu kemudian, pengkhianatan Jeffrey akhirnya berakhir. Dia menemui Vanessa di sebuah motel, percaya dia sedang membawa perhiasan berharga. Apa yang dia tidak tahu? Polisi sudah menunggu. Jebakan sudah disiapkan.

Dan ketika pintu dibuka, semuanya berakhir.

Vanessa ditangkap, tetapi kerusakan telah terjadi. Jeffrey memohon untuk dimaafkan Belle, berjanji untuk berubah. Namun Belle tahu kebenarannya. Dia tak bisa membalikkan rasa sakit itu.

Dengan hati yang berat, dia mengajukan cerai, rumah diselamatkan, tapi Jeffrey harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Belle harus membangun kembali hidupnya, tetapi kali ini, dia melakukannya sendirian.

Dan untuk Jeffrey? Nah, dia harus hidup dengan konsekuensi dari kebodohannya—dan mimpi menjadi jutawan hancur tak bisa diperbaiki.

Belle tidak akan menunggu lagi agar dia berubah. Dia punya anak-anaknya, rumahnya, dan masa depannya untuk dipikirkan. Sisanya, dia menyadari, bisa ditinggalkan di masa lalu.

Visited 1 times, 1 visit(s) today
Rate article