Jen selalu membanggakan dirinya karena kesabarannya, terutama dalam pernikahannya. Namun, dua tahun terakhir, suaminya, David, perlahan-lahan menghancurkan harga diri Jen. Apa yang dulunya adalah hubungan penuh cinta kini terasa seperti serangan penghinaan setiap hari.
“Kamu bukan istri yang aku butuhkan,” kata David, kata-katanya semakin dalam setiap harinya. “Rumah berantakan, kamu tambah gemuk, dan masakanmu? Sampah. Aku bahkan nggak tahu kenapa kamu sebut itu makanan.”
Jen memaksakan senyum, pura-pura tidak peduli. Dia bekerja keras menjaga rumah, bekerja keras di kantornya, dan memastikan David memiliki segala yang dia butuhkan. Tapi, tidak ada yang pernah cukup. Kritik-kritiknya menjadi tak tertahankan. Namun, setiap kali Jen membela dirinya, David hanya tertawa, menyebutnya “terlalu sensitif.”
Titik terparah datang pada suatu malam. Jen telah menghabiskan berjam-jam menyiapkan makan malam favorit David—ayam panggang, kentang tumbuk, dan kacang hijau. Dia dengan hati-hati menata meja dan menyalakan lilin untuk membuatnya spesial, berharap ini bisa menyulut kehangatan di antara mereka.
David duduk, mengambil sepotong, dan langsung cemberut. “Ini menjijikkan,” katanya dengan ejekan. “Aku nggak tahu kenapa aku repot-repot. Kamu nggak bisa masak dengan benar.”
Mata Jen mulai berkaca-kaca, tetapi dia menahannya, tidak ingin David melihat betapa dalam kata-katanya melukai. Dia memutuskan untuk keluar dan pergi ke kamar tidur, mengunci pintu di belakangnya. Air mata yang telah dia tahan selama berbulan-bulan akhirnya jatuh, membanjiri wajahnya dengan frustrasi dan rasa sakit.
Saat itulah sebuah pemikiran terlintas—balas dendam. Dia telah menahan ini terlalu lama, dan kini saatnya untuk membuat David merasakan apa yang dia rasakan setiap hari.
Keesokan paginya, rencana Jen dimulai. Dia bangun pagi-pagi, dengan tekad yang tenang di matanya. Dia mendekati David yang masih tidur, dan perlahan mencium dahinya.
“Selamat pagi,” bisiknya dengan manis, pura-pura semuanya baik-baik saja.
David bergerak sedikit, matanya masih setengah tertutup karena kantuk. “Mmm, apa yang kamu inginkan kali ini?” gumamnya.
Jen tersenyum hangat, meskipun ada badai yang sedang bergemuruh dalam dirinya. “Maaf, David. Aku pikir-pikir. Aku jadi istri yang buruk, ya?”
David terkejut, masih setengah sadar. “Maksud kamu apa?” tanyanya, duduk sedikit. “Kamu nggak begitu buruk, sih.”
Jen mendekat dan mencium bibirnya lagi, memastikan mencium lembut. “Aku akan perbaiki semuanya. Aku akan jadi istri yang lebih baik. Janji.”
David tertawa, mengira itu hanya upayanya untuk menyenangkannya. “Oke, baiklah. Mungkin kamu bakal masak sesuatu yang bisa dimakan kali ini.”
Jen tidak membiarkan sindirannya menghalanginya. Sebaliknya, dia membuatkan David sebuah sandwich, dengan hati-hati membungkusnya dalam serbet dan meletakkannya dalam tas. Dia menciumnya sekali lagi, kali ini di pipinya.
“Semoga hari kerjamu menyenankan, sayang,” katanya manis, suaranya dipenuhi dengan perhatian palsu.
Saat David pergi, Jen tidak bisa menahan sedikit rasa kemenangan. Itu memang belum banyak, tetapi itu adalah awal dari sesuatu.
Belum satu jam setelah itu, ponsel Jen bergetar dengan pesan dari David.
“Jen, aku menemukan catatanmu. Tolong, jangan lakukan ini padaku. Aku minta maaf untuk segalanya. Aku nggak bermaksud menyakitimu.”
Jen merasakan sedikit senyum muncul di bibirnya. Dia membuka pesan tersebut, dan melihat apa yang dia harapkan—sebuah tanda penyesalan dalam kata-kata David.
Dia membuka catatan yang dia letakkan dengan hati-hati di dalam tas sandwich. Itu singkat tapi jelas.
“David, jika kamu pikir masakanku sampah, kamu akan merasakan obat dari apa yang kamu buat. Aku sudah selesai jadi ‘istri yang salah’ buatmu. Kamu telah membuatku merasa kecil terlalu lama. Sekarang, kamu akan menyesal.”
Jen tersenyum pada layar, merasakan beban yang terangkat dari dadanya. Tapi dia tahu itu belum cukup. Dia ingin David benar-benar mengerti rasa sakit yang telah dia sebabkan.
Berjam-jam berlalu, dan telepon David terus masuk dengan panik. “Jen, tolong! Aku minta maaf, oke? Aku akan berubah. Jangan tinggalkan aku. Aku akan lebih baik!”
Tapi Jen tidak menjawab. Sebaliknya, dia melanjutkan harinya, menikmati kepuasan mengetahui bahwa untuk sekali ini, David lah yang merasakan tekanan.
Keesokan harinya, Jen menunggu sampai David pulang kerja. Ketika David masuk ke rumah, matanya langsung tertuju pada meja dapur, di mana dia melihat piring dengan sandwich yang dia buatkan untuknya kemarin. Dia menatapnya, bingung dengan apa yang dilihatnya.
“Jen?” panggilnya dengan suara gemetar. “Apa yang kamu lakukan?”
Jen berjalan ke ruangan itu, berdiri tegak. “Kamu bilang masakanku sampah, kan? Nah, aku pikir aku akan membalasnya. Nikmati saja.”
David meraih sandwich itu, tangannya gemetar saat membuka bungkusnya. Di dalamnya, tersembunyi di antara lapisan roti, ada sesuatu yang tidak ia duga—sekelompok cabai rawit, dicampur dengan saus khusus yang Jen buatkan hanya untuknya. Sebuah pengingat kecil tapi membara betapa kata-katanya telah melukai Jen selama ini.
Dia menggigitnya, dan wajahnya langsung mengerut karena rasa sakit. “Apa-apaan ini?!” teriaknya, menjatuhkan sandwich itu.
Jen hanya berdiri di sana, melihatnya meringis. “Jangan khawatir, David,” katanya dingin. “Ini hanya sedikit rasa obat dari kata-katamu sendiri.”
David menatapnya, dengan penyesalan dan kepanikan di matanya. “Jen, aku… aku nggak bermaksud begitu. Aku minta maaf. Tolong, aku—”
Jen mengangkat tangannya untuk menghentikannya. “Simpan itu, David. Kamu telah membuatku merasa tak berharga terlalu lama. Sekarang kamu merasakan akibat dari tindakanmu. Aku bukan lagi tempat pelampiasanmu.”
Dia berbalik dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan David berdiri di dapur dengan ekspresi terkejut di wajahnya.
Sejak saat itu, Jen tahu dia tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu lagi. Dia telah merebut kembali harga dirinya dan mengambil alih kendali hidupnya. Dan jika David ingin menjadi bagian dari itu, dia harus berusaha lebih keras dari sebelumnya untuk membuktikannya. Tetapi untuk sekarang, Jen sudah selesai.
Dan bagi David, dia tak akan pernah melupakan rasa pahit dari kata-katanya sendiri.